Senin, 08 Desember 2008

Peluk


Kata-kata inilah yang paling sering kau tuliskan di bawah deretan kata dunia mayamu. Entah apakah kau memang haus dekapan atau kau menyediakan orang lain untuk bisa bersandar di pundakmu. Aku sendiri masih tidak tahu sampai saat ini. Terakhir kali kau berkirim kabar denganku tidak ada kata itu di tempat biasanya. Mungkin kau terlupa atau sudah tidak menganggap itu hal penting lagi untuk diketahui. Padahal deret kata yang lain masih menyisakan secuplik kata itu di epilog.

Kau selalu berkata padaku bahwa peluk berarti bahagia karena kita seperti membagi beban diri kita kepada orang lain. Dan kau selama ini selalu melakukan itu setiap kali kau berkeluh kesah. Ya, hanya sekedar genggam erat yang terjadi. Tapi bagimu, dekap itu adalah hal paling berharga yang bisa dilakukan. Aku masih ingat ketika bulan purnama melihat kita berpeluk saling melegakan di hamparan tanah lapang itu. Peluk yang membuat kita berkata bahwa tidak mau kehilangan satu sama lain.

Aku mendadak menjadi orang linglung semenjak saat itu. Seperti orang yang tak tentu arah. Berjalan berdasarkan naluri yang terkadang malah menjerumuskan ke jurang penuh nista. Aku tidak berharap semua akan begitu kacau seperti ini. Selama ini memang aku yang berbuat gara-gara. Merusak apa yang sudah terbangun dengan rapi. Menghancurkan harapan yang membuat orang lain mungkin akan depresi berhari-hari ketika mengalaminya.

Aku berusaha melakukan yang terbaik untuk memperbaiki semuanya. Kekacauan yang sudah kubuat. Pilihan yang harus diambil. Ketegaanku menghempaskanmu dari selubuk ruang hatiku. Oh aku lupa. Kau tidak mungkin terhempas kecuali kau melakukannya sendiri. Seperti bisma yang tidak akan pernah mati kecuali dia yang menghendaki. Begitulah diriku, tidak mungkin akan meninggalkan engkau pergi begitu saja. Kau mungkin yang akan perlahan demi perlahan membalikkan badan sembari berjalan menjauh.

Aku tidak pernah mengganggap engkau seperti layang-layang yang dengan mudah terbang melayang tinggi ke angkasa. Tapi bisa seenaknya kutarik dan kukendalikan sesuka hatiku. Aku suka melihatmu menawarkan dunia dengan segudang pengalaman dan pemikiran yang ada di dalammu. Dunia yang berusaha direkam dalam tiap lubuk bercampur kegirangan.

Aku lebih suka melihatmu terbang bebas layaknya burung merpati. Mengepak sayap tanpa kenal lelah. Jelajahi sudut-sudut kota yang penuh keramaian. Melesat cepat kalau kau tidak melihat ada sesuatu yang mengharuskan engkau untuk terlibat. Tapi mendadak berhenti ketika ada amarah yang membumbung memberi tanda ke angkasa. Menunduk kepala seraya menajamkan indra untuk menilik lebih jelas apa yang terjadi. Apapun yang terjadi, kau akan tetap berkompromi dengan tujuanmu. Berhenti sejenak di sana. Menawarkan biduk perdamaian dan ketenangan. Perantara dua makhluk yang bertikai. Kalaupun kau tidak bisa memberikan damai di sana. Kau akan mengajak salah satu pihak yang kalah untuk pergi beranjak sebentar dan mendengar keluh kesah yang keluar dari mulutnya. Elusan sayap di punggung, kicau penyejuk, ataupun hanya cicit kecil dari paruhmu, sudah cukup membuat orang lain bisa berdiri tegak kembali. Menuai hidup yang penuh tantangan dengan penuh harapan.

Inilah yang sanggup aku lakukan saat ini. Hanya mengingat apa yang tersisa darimu. Engkau yang sekarang pergi entah kemana. Terakhir kali kau bilang kalau kau tidak mau lagi tergantung denganku. Aku sadar bahwa aku tidak terlalu baik untuk dijadikan tempat bergantung. Aku terlalu rapuh untukmu bergelanyut. Apalagi bagi kamu yang dikatakan berbadan besar oleh pamanmu.

Aku bukanlah orang yang bisa memberi ketenangan padamu setiap saat. Bahkan, aku mungkin adalah prahara yang sampai saat ini masih mengganggu hidupmu.

Aku tahu bahwa perlahan aku akan dienyahkan paksa dari obrolan biasamu. Tidak ada lagi keluh kesah yang akan mampir ke telingaku. Yang ada hanya punggung badanmu yang hanya bisa aku lihat dari kejauhan. Kau yang tampaknya sudah menemukan senyuman lain yang bisa membuatmu merasa nyaman, tanpa harus merasa terpaksa untuk berkata.

Ruang putih itu hanya akan berderak oleh satu jejak langkah. Bukan dua apalagi tiga seperti biasanya. Aku hanya akan merenung seorang diri menikmati imaji tanpa pendamping setia. Uang tiga ribuku hanya akan terbuang sia-sia di dalam sana. Aku belajar berteman dengan sepi. Aku tidak mau memaksakan egoku hanya karena aku tak mau sepi menghampiriku.

Aku akan berdiam di sini. Bertugas sebagaimana biasanya. Menerima hembus nafas pesimis orang-orang di sekelilingku. Dan mengolahnya menjadi sesuatu yang masih berharga untuk dikecap. Tapi, mungkin tidak akan ada lagi rupa stresmu di hadapanku. Tidak ada lagi teriakan aneh yang membuat hantu pun takut berkenalan denganmu. Atau tanganmu yang merusak tatanan rambut acak adulmu.

Aku tahu kau pasti tidak akan lagi merepotkanku. Walaupun aku suka direpotkan olehmu. Kau juga tidak akan lagi menangis di depanku, walau aku juga suka menenangkanmu. Kau tidak akan lagi meminta peluk karena aku tidak bisa lagi memberi. Tapi yang aku tahu, aku tetap di sini. Tidak akan menjauh atau pergi meninggalkanmu. Terlalu sulit untukku mengelak.

Aku akan berperan sebagai sahabat yang akan menerimamu apa adanya. Ketika kamu juga sudah bisa melihatku sebagai teman baikmu. Mungkin saat itulah aku akan berdiri menyambutmu, mengelus rambutmu dan memberi dekap hangat dalam peluk eratku.

*silakan beranjak sebentar sampai kamu puas bergumam takdir.

Kamis, 04 Desember 2008

Fragmen Kepribadian















Kepribadian seseorang sebenarnya terdiri atas fragmen-fragmen tertentu yang menggambarkan satu sifat khusus dalam dirinya. Ada fragmen kemarahan, kejujuran, kebajikan, egois, bahkan fragmen kejahatan. Mereka tidak bisa berdiri sendiri, ada mekanisme keseimbangan yang membuat satu fragmen (seharusnya) tidak mendominasi yang lain. Fragmen-fragmen itu berjalan sinergis sebagai satu kesatuan utuh yang membentuk kepribadian seseorang. Namun yang terjadi, sering kita mencap seseorang secara keseluruhan hanya dengan menilai dari salah satu fragmen saja. Ya, stigma yang akan mengkungkung orang dalam pandangan masyarakat sekelilingnya.




Orang jahat tidak selamanya akan jadi orang jahat, orang baik pun tidak selamanya akan jadi orang yang baik bukan?

Rabu, 03 Desember 2008

Sindrom Pre-21

Judul yang mungkin aneh bagi sebagian orang yang tertarik membacanya, atau mungkin sudah tidak tertarik lagi bahkan untuk membaca seluruh kisahnya karena menemukan ketidaklaziman pada awal kalimat. Ya sudahlah, mari bercerita dan berpendapat, waktuku sedikit sempit tapi bukan berarti kita tidak bisa bercerita di sini.

Kata orang, hidup itu layaknya potongan puzzle yang harus kita susun satu demi satu supaya kita bisa tahu gambar apa yang tersembunyi di sana. sakjano, yo pendapat ini nggak selamanya bener sih kan biasanya di puzzle ada bungkusnya dan kita udah tahu gambar apa yang harus disusun bukan? Berarti hidup bukan seperti potongan puzzle to? Haha. Pendapat yang sedikit aneh memang. Tapi kalaupun hidup seperti puzzle maka kita tentu akan kesulitan untuk menyusun gambar yang seharusnya tersusun di lembaran yang sudah ditentukan. Tanpa petunjuk, tanpa penuntun, tanpa satu arahan apapun, kita diharuskan membuat gambar penuh yang kita sendiri pun tidak tahu apa yang akan tergambar di sana. Bagi sebagian orang petunjuk untuk menyelesaikan gambar itu ada di sekeliling mereka, entah itu alam, lingkungan, dll. Ada pula yang berpendapat bahwa mereka bisa menemukan tuntunan ketika mereka berinteraksi dengan orang lain. Ada pula yang menemukan petunjuk ketika mereka sedang dalam suasana hening dan merenungi hidup. Ada pula yang menemukan setitik cerah di suasana ramai. Ada pula yang harus berdiam di tempat sepi. Meditasi. Yoga. Atau sederet kosakata lain yang tidak pernah saia kenal sebelumnya. Pada intinya, mungkin tiap-tiap orang mempunyai cara khusus untuk menemukan petunjuk-petunjuk kehidupan yang akan menuntun mereka perlahan demi perlahan menemukan wujud akhir dari kehidupannya.

Ya, aku sendiri pun masih dalam proses mencari segelintir petunjuk yang bisa mengarahkanku pada kehidupan yang lebih jelas. Bukan berarti hidupku sekarang tidak jelas, tapi saat ini, aku masih berpendapat bahwa hidup itu mengalir seperti air sungai. Pendapat yang menurutku sangat naïf, sebodoh-bodohnya daun mengikuti aliran sungai, kalaupun dia bisa memilih maka dia akan memilih aliran yang tanpa riak, tenang dan tidak bergelombang. Dia juga (kalau bisa dan diperbolehkan) akan memilih aliran yang tidak begitu banyak bebatuan. Tak banyak jeram yang bisa membuat tubuhnya robek . Atau dia akan memilih aliran sungai yang tidak harus melewati air terjun yang akan membuat tubuhnya goyah tidak terkendali. Akan ada banyak aliran sungai yang bisa dipilih untuk bisa mencapai satu tujuan yaitu LAUTAN.

Hidupku sekarang seperti ribuan petunjuk yang ada dalam kolam penuh tulisan. Banyak petunjuk yang berkeliaran di luar sana. Menyediakan beratus-ratus makna yang kalau disusun tentu akan terbangun menjadi sesuatu yang bagus. Tapi sayangnya tidak semua petunjuk itu aku butuhkan, ada petunjuk yang memang aku perlukan, ada petunjuk yang hanya jadi sampah dan malah mungkin menyesatkan. Itulah yang terjadi pada diriku sekarang. Berbagai macam idealisme bergabung menjadi satu, berusaha menurunkan derajatnya dan beradaptasi dengan realitas yang ada. Sedang di lain sisi, realitas yang aku jalani pun sering memunculkan idealisme baru yang sangat bertentangan dengan apa yang aku hidupi selama ini.

Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menuliskan ini dalam deretan kata-kata. Apa yang ada di otakku sekarang terlalu sulit untuk disusun. Aku sampai-sampai tidak bisa membaca apa yang sedang bergejolak di dalam jiwaku. Ah, sudahlah. Mungkin di antara kalian ada yang “sedang” atau “pernah” berada dalam posisiku. Suatu kondisi dimana kalian harus mensinkronkan berbagai idealisme dan realitas yang ada agar membentuk satu kesatuan yang sinergis. Sama seperti ketika orang bilang bahwa otak dan perasaan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, mereka harus berjalan berdampingan dan saling melengkapi.

Masalahnya adalah saia sekarang tidak punya cara yang cukup jitu untuk menyambungkan kedua hal tersebut. TOOOLLLLOOONGGGG!!!

Selasa, 14 Oktober 2008

Pake Hati Donk, Mas!


Tadi malam saya benar-benar tertidur secara tidak nyenyak. Di tengah keenganan untuk meneruskan belajar yang membuat saya tidak lancar mengerjakan ujian, berbagai pikiran imajinatif menyerang sendi-sendi pertahanan otakku. Mulai dari imajinasi yang saru sampai yang bermutu. Lebih banyak sarunya mungkin! Nah, di kala saya sedang asik-asiknya bercinta dengan guling di taman surga, saya terbangun mendengar bunyi kotak kecil yang menghubungkan saya dengan bermacam-macam orang di luaran sana. Begini bunyinya:

Si sms : Pink! Knp to kebanyakan pria begitu egois? Huff.
Saya : Iya. Lelaki memang brengsek.Egois. Kenapa? Mgkn gawan bayi nek sifat kuwi. Ono opo
to emange?

Sms itu saya tulis pukul 1 dini hari, sesaat setelah saya terjaga karena bunyi alarm yang
sengaja saya taruh di dekat telinga. Pagi harinya pas aku ketemu dengan temanku itu di
kampus. Obrolan itu langsung menjadi topik pembicaraan utama. Dia langsung bertanya
kepadaku.

Si teman : Pink, kalau misalnya saya bilang, ini hapeku jadi terserah aku mau
ngapain aja, apa tanggepanmu?
Si saya : Wah, yo biasa wae to? Nek aku mah ra popo, asalkan kowe le ngganggo hape
njuk tidak mengganggu orang lain. Sesuaikan konteks sajalah.

Si teman saya itu langsung manggut-manggut mendengar opini itu. Sedetik kemudian, dia mulai bercerita kenapa dia sampai harus mengirimkan sms itu kepada saya. Ternyata, dia sedang marahan dengan adiknya, mungkin bisa dibilang marah akut tapi nggak bisa nampar, ngludah, nginjek muka orang yang buat marah karena yang buat marah adalah adiknya sendiri. Jadinya dia melampiaskan segala kekesalannya di depanku. Apa gerangan yang membuatnya jadi sebegitu kesal? Nah, ceritanya begini, adik teman saya itu baru saja putus, lalu si teman saya itu tanya kepada adiknya.

Si teman : Heh, ngopo kowe kok ndadak putus barang?
Si adik teman : Yo ben to, sakarepku!
Si teman : Yo nggak bisa gitu no, kamu egois! (mungkin disampaikan dengan gaya slow motion ala sinetron-sinetron remaja kacangan yang marak beredar di telepisi)

Woh, langsung mendidih itu si temanku mendengar adiknya berkata seperti itu. Saya pun menanggapi kekesalannya dengan manggut-manggut nggak jelas dan malah melayangkan pikiran untuk bisa menulis sesuatu mengenai keegoisan lelaki.

Malam harinya, saya diajak curhat sama temenku yang laen. Kebetulan dia baru saja “ditinggal” secara paksa oleh lelaki yang selama ini memperlakukan dia layaknya seorang putri. Nah, jebule si teman saya itu sangat sakit hati dengan lelaki yang memperlakukannya seenak wudelnya sendiri (wudel sendiri ki enak rasane po piye je?). Lalu mulailah dia bercerita panjang lebar mengenai apa yang terjadi antara dia dan lelaki itu. Ceritane panjang tenan (berlebihan ki aku), jadi kesimpulannya adalah sampai pada saat dia sudah sakit hati pun, si cowok nggak sadar kalau dia itu salah dan malah mau cari “korban” untuk disakiti lagi. Kata teman saya, si lelaki itu selalu butuh kasih sayang dan perhatian dari seorang wanita. Lha, njuk saya tanya.

Si pink : Menurutmu, teman lelakimu itu termasuk berkelakuan egoiskah?
Si teman saya : Yaelah, jelas bangetlah kalo dia EGOIS!

Obrolan yang berlangsung selama setengah jam itu dihabiskan dia untuk berkeluh kesah tentang lelaki yang secara sadis mengiris-ris hatinya (halah. Bahasamu lik-lik!). Walah...walah..sejurus kemudian saya njuk berpikir apakah sebegitu egoisnya kaum lelaki di mata wanita? Secara tidak hormat dan disertai dengan imajinasi tanpa batas, saya pun menelaah lebih lanjut, apa yang sebenarnya terjadi dengan pemikiran dan idealisme para kaum di dunia saya.

Hmmm....sebenarnya kalau dibilang lelaki itu egois sih, sah-sah saja, malah kemungkinan besar dugaan atau tudingan yang dilontarkan oleh para wanita itu banyak benarnya. Para lelaki itu lebih sering menggunakan otaknya untuk mengambil suatu keputusan dan jarang memakai perasaannya sebagai suatu pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Yups, RASIONALITAS. Itulah yang selalu dikemukakan sebagai dalil untuk penyelesaian suatu masalah. Asalkan apa yang diputuskannya itu rasional dan menurut dia adalah sesuatu yang benar, maka tidak perlu repot untuk memikirkan apa yang orang lain rasakan akibat dari keputusannya itu. Contoh gampangnya adalah apa yang tadi malem saya lihat di tipi, seorang cowok dengan tega memutuskan pacarnya hanya karena dia sudah bosan dengan hubungan mereka. Lha, untuk memuluskan jalan agar segera bisa putus, si lelaki itu merancang berbagai macam pembenaran supaya si perempuan bisa menerima keputusannya. Padahal, di lain sisi, si wanita sudah nangis mbeker-mbeker ngguling-ngguling, tapi tetep saja si lelaki tidak mau untuk memperbaiki hubungan itu dan tetap memilih untuk putus. Apakah si lelaki itu egois?

Sebenarnya kalau dalam hubungan pacaran, egois ini bisa terjadi lewat proses atau memang sudah gawan lahir dari si lelaki itu sendiri. Kalau yang gawan lahir, itu mah karena dari awal sifatnya dia sudah seperti itu. Nah, bagaimanakah egoisme yang terjadi lewat proses? Terkadang kita menemukan wanita dengan tipe yang anteng, manutan, tidak banyak menuntut, dan berbagai macam kebaikan lainnya. Sehingga dalam relasi berpacaran, pihak lelakilah yang lebih banyak mengambil keputusan. Semua pertimbangan selalu ada di pihak lelaki. Apa yang dimaui oleh lelaki selalu dituruti oleh pasangannya. Alhasil, si lelaki jelas akan merasa lebih berkuasa daripada si wanita karena si wanita itu sendiri tidak punya bargaining position yang cukup kuat untuk bisa menolak keputusan si lelaki. Selain itu, para wanita itu punya seribu macam cara untuk melakukan manipulasi ekspresi, sehingga kalau semisal dia tidak suka dengan apa yang si lelaki lakukan, dia akan terlihat senang-senang saja dan tidak ada masalah. Kondisi seperti inilah yang kemudian akan membuat si lelaki terbiasa untuk “dimanjakan” oleh si wanita sehingga si lelaki akan selalu berkutat dengan pemikirannya sendiri dan LUPA untuk juga menyertakan (perasaan) si wanita dalam setiap hal yang mau dia putuskan. Pada akhirnya, konsep saling memahami antara satu sama lain pun menjadi tidak tercapai. Yang satu merasa bisa memahami, tetapi di lain sisi, pasangannya merasa tidak pernah dipahami oleh yang lain. Inilah yang kemudian sering menjadi penyebab retaknya relasi pacaran. Tidak ada kesepahaman perasaan antara lelaki dan wanita.

Yah, sebenarnya sisi lemah dari kebanyakan lelaki adalah dia itu punya sifat bawaan sombong, suka berkuasa, dan tidak rendah hati. Inilah yang kemudian akan merembet pada tindakan-tindakannya yang cenderung egois dan tidak mempedulikan perasaan orang lain. Hwuh, sebuah sikap yang menurut saya sudah harus dihilangkan ketika seorang lelaki memasuki usia 20 tahun. Dengan tingkat pemahaman dan idealisme yang semakin tinggi seharusnya diikuti juga dengan kemampuan “mengerti” orang lain. Kalau seorang lelaki tidak juga bisa menyeimbangkan antara kemampuan berpikirnya dan kemampuan memahami orang lain. Maka dia akan cenderung bersikap layaknya diktator yang tidak pernah mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha melaksanakan ambisinya dengan cara apapun. Nah, kalau keseringan tidak bisa memahami orang lain, maka lambat laun orang-orang di sekitarnya pun tidak akan pernah mau (bersusah-susah) memahami perasaannya terlebih ketika dia kesusahan. Makanya, pake hati donk mas!

PESAN OF THE WEEK: “Jangan pernah bersikap egois pada siapapun mulai sekarang, emang mau kalau kamu lagi putus cinta dan butuh teman curhat, tapi yang mau ngedengerin cuma bantal ama guling? Iihhh…gw mah ogah!”

KESAN OF THE WEEK: “Memahami orang lain adalah sebuah seni yang akan sangat mengasikkan kalau dilakukan. Karena dengan memahami orang lain kita akan menelusup masuk dan menjelajah ke alam pikiran dari orang tersebut. Cobalah dan kamu nggak akan menyesal!”

*buat yang merasa ditulis, maaf ya, hehehe.....
*touch of writing-ku sedang kacau nih, maaf kalau tidak enak dibaca, hehe....

Jumat, 10 Oktober 2008

Hormati Kelamin Sesamamu!

Sore ini saia sedikit memutar otak melihat sebuah iklan shampo di televisi. Iklan itu bercerita tentang seorang anak perempuan berambut panjang yang diantar ibunya menemui pelatih sepakbola di sekolahnya. Kemudian muncul beberapa percakapan antara mereka berdua.

Si ibu : “Pak, ijinkan anak saia untuk masuk tim sepakbola”
Si pelatih : “Nah, itu kan untuk anak lelaki?”
Si ibu : “Tapi kemampuannya sama dengan anak-anak lelaki, pak!”
Si pelatih : “Iya, tapi nanti kalo kotor kena debu, rambutnya lepek, bagaimana?”
Si ibu : “Ah, bapak hanya tinggal melatihnya, lainnya saia yang urus!”

Nah, akhirnya si anak pun dilatih secara khusus oleh pelatih tersebut. Jatuh bangun menangkap bola di tanah yang berrdebu, tapi si anak pantang menyerah. Sampai si anak pun ikut dalam satu pertandingan sepakbola dan dia akhirnya mencetak satu gol penentu dengan tendangan volley sambil menggeraikan rambutnya yang panjang itu. Iklan yang agak aneh sih menurutku, tapi bukan itu point yang mau saia ambil.

Iklan yang tidak seberapa menarik itu melambungkan saia pada kejadian beberapa tahun silam. Saat saia bersusah payah menyelesaikan karya tulis sebagai tugas untuk kenaikan kelas. Kebetulan topik yang saia ambil adalah mengupas makna seks dalam novel yang ditulis Djenar Maesa Ayu berjudul “Jangan Maen-Maen (dengan Kelaminmu)”. Topik yang saia kira tidak banyak disadari oleh teman-teman saia kala itu. *mungkin inilah yang menjadikan saia sedikit aneh di mata teman-teman dekat saia, kadang-kadang pikiranku suka berimajinasi berlebihan* Nah, salah satu judul cerita yang saia kupas ada yang berjudul “Menyusu Ayah”. Inti ceritanya adalah seorang anak perempuan piatu karena ibunya meninggal pada saat proses kelahirannya. Yang paling menarik menurut saia adalah satu paragraf yang cukup membuat saia terhenyak ketika membacanya untuk pertama kalinya. Begini bunyinya.

Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.

Itulah yang membuat saia pada akhirnya sedikit sebel dengan iklan yang baru saja saia tonton itu. Selain dari segi estetika tidak terlalu menarik, kalau dikaji lebih lanjut, iklan itu pun menunjukkan bahwa perempuan berada pada kondisi yang lebih rentan daripada lelaki. Perempuan masih dianggap sebelah mata ketika dia berusaha untuk memasuki dunia yang selama ini lekat dengan maskulinitas, seperti misalnya sepakbola, politik, dll. Perempuan ditakdirkan untuk mempunyai kodrat-kodrat yang berkaitan dengan posisinya sebagai seorang perempuan, misalnya melahirkan, merawat anak, mengurusi keluarga. Begitulah yang selama ini mentradisi dalam masyarakat Indonesia. Perempuan dipaksa untuk terkungkung dalam kodratnya sebagai seorang perempuan. Kalau pun semisal dia berusaha untuk memilih tidak melakukan apa yang sudah dikodratkan “masyrakat” kepadanya, maka gunjingan akan segera terjadi baik itu di pihak internal ataupun eksternal perempuan tersebut.

Kalau boleh meminjam istilah yang tidak disukai salah seorang teman saia (Sista.red), wanita berada pada posisi yang inferior sedangkan pria ada di posisi yang lebih superior. Ya, itulah yang sejak dahulu berkembang di masyarakat Indonesia, perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Salah seorang filsuf Prancis pernah menulis bahwa perempuan itu adalah second sex, dimana dia memang sudah dilahirkan tidak dalam posisi yang sejajar dengan lelaki, tetapi dalam posisi yang lebih bawah.

Tekanan yang begitu besar dari “dunia maskulin” pun membuat jengah beberapa golongan perempuan yang menamakan diri sebagai penganut feminisme. Sebuah aliran atau boleh dibilang suatu idealisme yang mendasarkan kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Mereka berusaha agar para perempuan diberi posisi yang sejajar dengan para lelaki. Mereka tidak ingin melebihi kaum lelaki, tetapi paling tidak jadikanlah mereka partner untuk kaum pria. Itulah beberapa “tuntutan” yang sering disuarakan oleh mereka. Sehingga banyak di antara mereka yang rela tidak menikah karena menikah sama saja dengan memposisikan diri mereka ada di bawah laki-laki. Fiuh. *bisa-bisa gag ada lagi cerita malam pertama nek kabeh wong wadon duwe pikiran koyo ngene!*

***

Saia kira tidak ada seorang ayah yang menyesal bila dia diberi karunia berupa anak laki-laki. Lain halnya ketika Tuhan memberikan dia anak perempuan, akan ada sejenak raut wajah kekecewaan walaupun pada akhirnya dia tidak berbuat apapun terhadap kondisi tersebut. Laki-laki yang sudah sejak lahir seperti “terkodratkan” untuk berada di atas perempuan pun sering memiliki arogansi yang kelewat batas terhadap para perempuan. Berbagai kesombongan pun terpancar dari segala tingkah laku mereka untuk menunjukkan bahwa mereka lebih berkuasa daripada lelaki. Perasaan tidak terima dan merasa terlecehkan pasti akan langsung menyeruak ketika ada perempuan yang berada pada posisi yang lebih tinggi daripadanya. Berbagai proteksi pun dilancarkan agar si perempuan tidak bisa mencapai posisi yang lebih tinggi dari lelaki. Kebanyakan lelaki akan takut kalau perempuan ada di posisi yang “lebih berkuasa” maka mereka akan diperlakukan secara sewenang-wenang dan akan dipermalukan harga dirinya. Sebuah ketakutan yang saia kira tidak masuk akal.

Hal ini pulalah yang tercermin dalam dunia kehidupan sehari-hari. Tidak usahlah mengambil contoh kuota DPR yang sampai saat ini pun kursi untuk caleg perempuan yang “hanya” 30% itu tidak kunjung bisa terpenuhi. Lihat saja keseharian di sekeliling kita, bolehlah kita ambil contoh masalah percintaan. Baru-baru ini saia mendengarkan cerita dari adik sepupu saia (adik sepupu saia ini perempuan.red) yang baru saja putus dari pacarnya. Walaupun sudah putus, si mantan pacarnya adik saia ini nggak terima kalau semisal si adik saia itu dekat dan akhirnya pacaran dengan lelaki lain. Aneh nggak sih? Menurut saia sih aneh banget. Itu mungkin perilaku otomatis yang akan dilakukan seorang lelaki ketika posisinya terancam.Yup, si lelaki itu pasti akan berpikir kalau si saudara saia itu akan meninggalkan dia dalam kondisi masih “sendirian” alias belum punya pengganti. Dan saia yakin, sikap yang ditunjukkan oleh lelaki itu hanyalah sikap seorang pengecut yang tidak mau mengakui “kekalahan” nya terhadap orang lain apalagi seorang perempuan. Adik saia itu pun sempet beropini “Egois banget yo mas si mantanku itu.” , dengan tegas dan lantang saia jawab “YA”.Hehe. Memang begitu kenyataanya, lelaki itu sering merasa lebih berkuasa dalam menjalani sebuah hubungan, sehingga dia cenderung sombong dan tidak mau peduli dengan pasangannya. Akibatnya sudah bisa ditebak, dalam hubungan pacaran itu, sering sekali si lelaki menyakiti hati pasangannya, baik itu sadar maupun tidak sadar. Nah, kalau si perempuan sudah tidak sabar dengan sikap si lelaki, lalu mereka pun berontak dan minta putus. Selalu begitu akhirnya. Walaupun sudah putus, si lelaki masih saja tidak mau mengalah dan merelakan perempuan yang pernah jadi pasangannya untuk bisa memadu kasih dengan lelaki lain. Ckckckck….dasar lelaki!

PESAN OF THE WEEK:
“JANGAN JADI HOMO, KARENA KALIAN SUDAH TAHU KAN KALAU LELAKI ITU BRENGSEK, MAKANYA NIKAHLAH DENGAN WANITA SAJA BUKAN DENGAN LELAKI!”

KESAN OF THE WEEK:
“JADILAH LELAKI YANG RENDAH HATI, JANGAN MERASA SOMBONG TERHADAP POSISIMU, KARENA SAIA PERCAYA PEREMPUAN ITU SEBENARNYA LEBIH BERKUASA DARIPADA KITA, TAPI BEDANYA MEREKA RENDAH HATI DAN TIDAK SOMBONG!”

OH IYA...SELAIN RENDAH HATI DAN TIDAK SOMBONG,WANITA JUGA RAJIN MENABUNG!*

*halah. Ra penting banget iki!
*buat temen2ku di kampus, berhentilah untuk menjadi homo sejak sekarang. nggak enak. beneran. bolongane homo ki mung siji. hahaha. saru tenan!

Selasa, 07 Oktober 2008

Perfeksionis Tidak Becus Anti Kritik


Mungkin judul itulah yang cukup tepat untuk menggambarkan kondisiku selama ini. Terlebih lagi aku tadi pagi-pagi sudah beradu argumen dengan ibu di kamar tidur milik beliau. Penyebabnya sepele memang, aku mau buang air besar di kamar mandiku tapi kebetulan bapak sedang mandi di sana. Terus ibuku menyarankan untuk memakai kamar mandi di kamarnya, aku tidak mau dengan alas an dudukannya terlalu pendek sehingga nggak nyaman, lagipula nanti kalo rejek (airnya menggenang.red) aku pasti akan kena marah beliau. Eh, tau-tau ibuku langsung menanggapi dengan ngomong “Orang yang survive adalah orang yang bisa beradaptasi dengan cepat!” Ya terus terang aku langsung diam dan menahan marah seketika menanggapi omongan ibuku tersebut. Padahal tadi malam aku kena marah lagi karena aku nggak mau mengambilkan kunci apotik. Yah, pokoknya suram duramlah kondisiku sama ibuku belakangan ini. Tapi untungnya si bapak masih menciptakan suasana yang cukup kondusif sehingga aku masih saja betah tinggal di rumah ini.

Aku tiba-tiba berpikir setelah aku dibangunkan oleh bapakku pagi ini, apakah aku orang yang perfeksionis dan anti kritik? Yups, mungkin inilah target perbaikan pribadiku selanjutnya, setelah apa yang kualami selama ini, mungkin sifat ini secara tidak langsung mengendap dalam paradigmaku. Semenjak kecil aku sudah dibentuk sebagai seseorang yang hebat dan harus kelihatan pintar di hadapan orang lain. SD aku sudah langganan juara 1 sejak kelas 1 sampai kelas 6, kalaupun tidak beruntung aku paling-paling jadi juara 2. Hasil buruk yang menimpaku pas ebtanas membuat semangatku untuk membuktikan bahwa aku pintar membuncah ketika aku masuk smp. Di sana aku berhasil menjadi ranking satu parallel satu angkatan, cukup membanggakan memang, dan cukup membuat aku dicap sebagai anak pintar di sekolah. Prestasi ini memang tidak bisa kupertahankan karena kinerja yang menurun, tapi berhasil lagi kuraih saat-saat terakhir di smp. Kejadian yang sama terjadi pada saat sma, tidak ada sesuatu yang istimewa karena aku berada di kelas yang benar-benar hancur, bayangkan saja dari 40 anak yang tidak naik kelas ada 11 orang. Hebat bukan! Prestasiku konstan-konstan saja, sampai pada ujian akhir sekolah aku bisa berada di peringkat 7 sekolah walaupun terpuruk ke urutan 69 ujian akhir nasional. Tapi hasil ini membuatu aku bangga dengan apa yang sudah aku lakukan selama ini.

Itulah track record yang bisa saia beberkan kepada kalian semua yang membaca tulisan ini. Tapi apakah hidupku hanya untuk pencapaian akademik seperti itu? Aku juga tidak mau terjerumus untuk berkubang dalam lingkaran pendidikan yang terkadang hanya menjadikan manusia utuh setengah sebagai seorang pribadi. Lahir dari ibu yang pintar dan sekarang jadi dokter tekenal serta perfeksionis secara tidak sengaja menurunkan genetic sifat tersebut kepadaku. Pokoknya aku harus bisa seperti ibu. Itulah yang ada di benak kala SD dan SMP. Saat SMA aku sudah tidak mau lagi disama-samakan dengan ibuku lagi, dan pemberontakan yang paling keliahatan adalah aku tidak belajar supaya aku kelihatan bodoh dan tidak disandingkan dengan ibuku. Tapi segala usaha itu sirna karena aku tetap saja bersifat perfeksionis dan ingin semua orang kagum atas kepintaranku. Inilah yang tidak bisa lepas dari hadapanku, bahwa aku ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Aku ingin dihargai dan dipandang sebagai orang yang pintar, sukses, dan selalu bisa melakukan segala sesuatu di hadapan orang lain. Aku tidak ingin terlihat sebagai orang bodoh yang bisanya hanya bisa plongah-plongoh dan tidak berbuat apapun bagi orang di sekitarnya.

Akibatnya sudah bisa ditebak, aku tumbuh menjadi orang yang egois dan tidak mentolerir segala macam bentuk kekurangan. Terlebih ketika ada orang lain yang mencoba untuk mengkritik apa yang aku lakukan pasti akan ada rasa marah yan terbersit di dada.Huh…aku mulai jengah dengan sikapku yang satu ini. Lebih lagi bahwa aku harus tinggal satu rumah dengan orang yang perfeksionis dan orang itu sangat dekat denganku. Mungkin ini bisa jadi sifat yang baik ketika dua orang tersebut saling dukung, tapi aku tidak terlalu suka dengan cara ibuku memperingatkan aku. Ibuku pasti straight to the point bila ada sesuatu yang tidak ia suka. Aku menilai caranya ini tidak melahirkan situasi yang baik untuk tercipta suatu proses diskusi yang membangun jati diriku. Aku masih menganggap bahawa aku masih perlu banyak belajar mengenai hal-hal yang ada di sekitarku. Aku masih kecil dan tidak terlalu mengerti mengenai dunia ini. Walaupun aku terbiasa hidup “sendiri” semenjak kecil toh aku tidak bisa hidup selamanya dalam sikapku yang seperti ini. Aku sangat sadar bahwa tidak semua orang di dunia ini akan bisa menerimaku secara terbuka, memahami secara baik apa yang aku kerjakan, dan bila aku terus memelihara sikap ini, maka aku akan menemui kesulitan yang sangat besar di dunia yang sesungguhnya. Ya, aku sering mendengar bahwa orang yang tidak mau dikritik adalah orang yang paling bodoh sedunia. Dia menganggap kalau dia adalah orang yang paling pintar, tetapi kenyataannya dia adalah orang yang paling bodoh dan paling dungu di seantero jagad raya. Itulah yang aku rasakan akhir-akhir ini, aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Dan sedikit demi sedikit aku mulai berkata kepada diriku sendiri bahwa
“Aku adalah orang yang paling tidak tahu segalanya di dunia ini!”
sehingga aku perlu menyerap apapun yang memang pantas untuk aku pelajari. Orang yang bersedia dikritik berarti dia adalah orang yang RENDAH HATI, begitu kata Bunda Teresa. Orang yang rendah hati adalah orang yang tidak sombong, orang yang tidak mau berdebat dengan orang lain walaupun dia tahu bahwa hal itu adalah hal yang benar. Ya pokoknya seperti itulah! Dan aku masih jauh dari apa yang pernah dikatakan oleh Bunda Teresa tersebut. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Mumpung aku masih ada di rumah dan masih ada orang yang setia memperhatikan. Begitulah yang seharusnya diperbuat!

Aku terkadang iri dengan Yosi, Siddha, ataupun Wandan yang bisa dengan enak berdiskusi dengan orangtua mereka ketika mereka melakukan sesuatu yang salah. Dan itu aku anggap sebagai sarana pembentukan diri yang cukup hebat. Sedangkan aku hanya bisa menulis dan memecahkan masalahku sendiri secara pikiran dan apa yang aku anggap benar. Sehingga terkadang aku bersikap bahwa segala yang aku lakukan benar adanya dan tanpa cacat. Padahal aku yakin bahwa apa yang aku lakukan bahkan tidak lebih baik daripada seorang gelandangan sekalipun. Ya inilah hidupku! Aku harus menerima ini sebagai salah satu cara untuk memperbaiki hidup karena tanpa perubahan dan evaluasi serta pembenahan diri setiap harinya, aku sudah menjadi mayat hidup yang hanya bisa berjalan tanpa tentu arah. Aku berpikir kalau sikapku yang mirip ibuku ini hanya bisa ditangani oleh orang yang benar-benar mengerti akan behavioral maternal yang menurun kepadaku. Ya aku harus meminta tolong untuk ini sebelum semuanya terlambat. Kepada siapa? Siapa lagi kalau bukan kepada bapakku, hahaha……

“Semoga aku tumbuh menjadi seorang perfeksionis yang rendah hati dan tidak anti kritik!!"


Minggu, 05 Oktober 2008

Takut Mati

Takut Mati
Minggu pertama bulan oktober!

Pernahkah anda mengalami perasaan takut akan kematian? Mungkin akan banyak yang tidak takut tapi diantara segelintir itu pasti ada sejumput orang yang takut bila harus berhadapan dengan kematian. Biasanya sih sindrom takut mati itu terjadi bila kita harus berhadapan dengan situasi yang tidak bisa dikontrol oleh diri sendiri. Dalam artian situasi yang sedang ada di depan mata kita tidak akan bisa dirubah dengan kekuatan yang ada di dalam diri kita. Kalau tak pikir-pikir lagi kok kayanya definisi sindrom takut mati yang saia lontarkan ini kurang sesuai ya? Tapi biarlah, namanya juga tulisan bebas.

Beberapa kali saia pernah merasakan sindrom takut mati. Biasanya sindrom ini akan kambuh dengan sendirinya ketika saia naik pesawat. Entah kenapa saia menjadi paranoid sekali semenjak penerbangan ke Manado hampir setahun yang lalu. Saat itu pesawat yang saia tumpangi adalah milik perusahaan VOC yang bangkit lagi untuk mengenang masa lalu lewat udara (baca:Batavia Air). Nah, sebenarnya tidak ada masalah dengan pesawatnya, tapi awal tahun kan ada pesawat Adam Air yang jatuh secara mengenaskan. Padahal pesawat itu kan pasti akan melwati daerah selat makassar yang menjadi momok karena medan magnet yang sangat kuat di daerah itu. Kalau nggak salah, dulu pernah ada koran yang menamakan daerah itu sebagai Segitiga Bermuda-nya Indonesia. Asem tenan. Sepanjang perjalanan Jogja-Balikpapan-Manado hanya berdoa rosario dan nggak mau ngobrol sama temen di sebelahku karena ketakutan yang teramat sangat. Apalagi beberapa kali landing tidak berjalan dengan mulus, ada yang miring ke samping, benturan yang cukup keras, dan beberapa hal lain yang membuatku paranoid sampai sekarang. Itulah pertama kali aku berada di zona takut mati. Entah kenapa aku bisa merasakan hal seperti itu, padahal teman seperjalananku semuanya dalam kondisi santai.

Kemarin aku berada dalam zona takut mati dua kali dalam jangka waktu yang tidak terlalu berselang jauh. Kejadian pertama adalah pada saat saia harus terbang memakai pesawat dengan maskapai yang sama dari Jakarta-Jogja. Perasaan tidak mengenakkan langsung menyeruak ketika tahu harus terbang dengan maskapai itu. Ditambah lagi teman saia yang mempunyai indera keenam secara tidak sengaja menakuti-nakuti saia dengan mimpi buruknya yang akhir-akhir ini menjadi kenyataan. Asem. Tambah paranoid aku. Lebih lagi, pas mau masuk ke ruang boarding tiket yang aku pegang ternyata salah dan harus diganti. Pikiranku langsung berkata “Mungkin Tuhan masih sayang aku dan tidak mau aku mati karena kecelakaan pesawat. Makanya tiketnya sengaja disalahain.” Segala jenis ketakutan yang tidak beralasan hinggap silih berganti di otakku. Terlalu berlebihan memang, tapi saia membiarkan ini hanya berkecamuk di kepala. Saia tidak sebegitu tololnya sampai-sampai harus menunjukkan perasaan takut mati dengan ekspresi bak seniman teater yang mati-matian menghayati tiap peran sandiwaranya. Alhasil, di pesawat saia terus-terusan mendaraskan doa kepada Tuhan supaya kalau aku mati paling tidak aku mati dalam keadaan sedang berdoa. Benar-benar bikin deg-degan. Sial!

Kejadian kedua menimpaku malam harinya, aku sampai rumah jam 5 sore setelah sempat bertengkar dengan Indra di halte bis trans jogja. Habis itu langsung ke rumah Neni untuk menjemputnya dan ke gereja. Rencananya, sepulang gereja saia mengantarkan Neni sampai ke Solo karena besok memang dia ada ujian praktikum. Bodohnya saia tidak mengetahui batas kemampuan diriku. Saia yang pertama kali menawarkan untuk mengantarkan sampai ke Solo. Dan sekali ngomong tentu saja saia tidak mencabut lagi (kecuali untuk alasan tertentu). Perjalanan Jogja-Solo saia lalui dengan cukup mudah karena ada teman ngobrol sehingga aku yang sedang dalam kondisi ngantuk dan laper tidak menghiraukuan perasaan itu. Nah, masalah datang ketika saia harus melakukan perjalanan pulang ke Jogja. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Perut keroncongan karena belum makan semenjak siang. Mata mengantuk karena kecapekan. Apalagi situasi ini diperparah dengan tidak adanya teman dalam melakukan perjalanan. Alhasil, saia membeli sekotak terang bulan yang ternyata cukup ampuh untuk mengganjal perut sekaligus membuat saia TAMBAH NGANTUK!

Bener aja, mataku sudah semakin berat semenjak keluar dari Surakarta menuju jalanan lurus yang tanpa ujung. Waktu pertama sih masih sanggup nge-gas sampe 100km/jam, tapi lama-lama kok ngantuknya semakin parah ya. Beberapa kali tertidur sepersekian detik dan hampir menabrak separator jalan. Nggak bisa mbayangin deh kalo aku nabrak separator dalam kecepatan yang cukup tinggi. Bisa hancur berkeping-keping tuh mobil. Keputusan darurat pun diambil, kecepatan diturunkan hampir setengahnya. Itupun ternyata belum cukup untuk mengobati ngantuk yang sudah sampe stadium 3. Apalagi daerah yang sedang dilewati nggak ada sinyal radio. Sepi banget di dalem mobil.
Pernah karena saking ngantuknya, saia tidur di lampu merah terus nyadar kalo udah lampu ijo dan tahu-tahu udah nyampe lampu merah berikutya. Jadinya, aku tidur di satu ruas sepanjang dua lampu merah. Ngeri tenan! Udah beberapa kali belok kanan-kiri gag jelas gitu, hampir keserempet mobil di jalanan sebelah. Edyan tenan. Berasa mau mati tadi malem. Tapi aku pikir kok nggak keren ya, mati karena alasan ketiduran. Gag elit banget gitu kayanya. Untung masih diberkati Tuhan, jadinya bisa nyampe di rumah dengan selamat.

Mari berimajinasi sejenak: tengah malam-tidak ada sinyal radio-perut kenyang habis dikasih makan-ngantuk berat-separator dan bis malam siap menerjang tanpa ampun! Bayangkan saja semau anda, saia sudah pernah mengalaminya dan tidak mau membayangkan lagi.

Sebenarnya sih tidak ada yang salah dengan perasaan takut mati. Orang tua saia pernah bilang bahwa “Urip nang ndonya ki ming nunut ngombe”. Jadi ya memang hidup di dunia ini hanya untuk sementara karena semua orang pasti akan mati. Nah, masalahnya adalah orang-orang yang siap untuk berhadapan dengan kematian “biasanya” orang-orang yang sudah berumur dan merasa punya bekal yang cukup banyak untuk bisa dipertanggungjawabkan di surga. Lha kalo saia yang mati, masih muda gini,dosanya masih banyak, lah pahalanya belum ada sama sekali. Nanti kalo ditanyain, kamu udah ngapain aja di dunia? Masak cuma tak jawab “Kayanya enggak ngapa-ngapain deh di dunia”. Nah lo, bisa berabe tujuh keliling kan, langsung dimasukkan ke dalam neraka tanpa ada basa-basi yang cukup menghibur tuh. Alasan yang sebenarnya cukup bodoh untuk menghadapi kematian. Tapi dalam umur saia yang masih 20 tahun ini, tampaknya saia belum bisa PASRAH untuk menyerahkan hidup saia yang masih tidak berguna ini. Masih banyak hal yang perlu saia persiapkan supaya pada nantinya saia cukup pantas untuk dihantar banyak orang ketika saia mati. Banyak hal-hal baik yang belum saia lakukan di dunia ini. Apalagi cita-cita saia untuk berpetualang di bumi Papua belum juga kesampean. Masak udah harus meninggalkan dunia ini. Kan gag seru juga tuh. Karena itu jugalah, saia pernah bilang pada salah seorang teman. “Mbul, enak juga ya kalo kita kena HIV-AIDS?” Teman saia itu langsung mencak-mencak gag karuan karena nggak setuju dengan apa yang bilang. Terus saia lanjutkan kalimatnya “Lho, bukannya malah jadi enak ya karena kita tahu kapan kita akan mati, jadinya kita akan melakukan segala sesuatu yang terbaik di sisa akhir hidup kita” Nah, baru temen saia itu mikir lebih lanjut. Teman yang aneh memang.

Tapi ya itu, kita memang tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Ibaratnya kalau tuan rumah udah tau kapan maling akan datang ke rumahnya, tentu dia akan mengerahkan satu batalyon tentara supaya rumahnya tetap aman. Jadi, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah BERBUAT BAIKLAH DI SETIAP WAKTU DALAM HIDUPMU, JADI KALO TIBA-TIBA MATI MUDA, KAMU BISA TETEP MASUK SURGA WALAU ADA DI TINGKAT TERBAWAH. Hehehe…..Tulisan yang cukup bodoh. Silakan dibaca dan dipahami lebih lanjut!

*tulisan ini juga bisa dilihat di www.senjakalafajar.blogspot.com

Kamis, 07 Agustus 2008

Pesawat Ulang Alik

              Baru-baru ini berita paling heboh selain pembunuhan berantai yang dilakukan secara keji oleh homo tidak bermoral adalah bocornya rekaman Adam Air yang seharusnya tersimpan rapi. Kemarin sempat mendengar rekaman detik-detik terakhir saat pesawat hendak jatuh ke laut. Situasi kepanikan yang mungkin bisa kubayangkan terjadi di dalam badan pesawat. Berbagai wajah yang menunjukkan ketakutan, kegelisahan, keringat dingin yang mengucur deras tergambar jelas bagai mimpi di siang bolong. Saia merinding grogi, apalagi saat itu saia sedang makan sesuatu yang enak dan menggairahkan. Mendengar berita itu selera makan langsung turun sampai ke titik nol dan tidak ada lagi yang bisa saia lakukan siang itu selain duduk termenung. Kertak gigi terdengar jelas yang di sekujur badan yang sudah mematung semenjak suara-suara itu berkumandang di telingaku pertama kali. ah, aku sudah tidak mau membayangkan lagi apa yang terjadi di sana. Sudah cukup aku mendengar jeritan orang-orang putus asa yang tidak bisa lagi berbuat apapun. Fiuh.....
             Mungkin dari antara kita pernah memakai tipe pesawat ulang alik macam Adam Air, Lion Air, dan segala macam penerbangan murah yang membuat jantung berloncatan tanpa henti. pengalaman aneh dengan pesawat ulang alik jenis ini membuatku harus berdoa sepanjang perjalanan. hahaha....ketahuan juga kalau lagi berdoa pas masa-masa genting. Tapi beneran, aku bisa menyebut ini pesawat ulang alik karena kalau pesawat ulang alik yang bikinan Nasa kan bisa terbang melawan gravitasi, ke arah atas menembus angkasa. Lha, kalau yang ini pesawatna agak diragukan kalau melawan gravitasi tapi sangat mumpuni kalau disuruh sejalan dengan gravitasi. Dalam bahasa jurnalistik dinamakan Pesawat Terjun Bebas. Inilah yang sering membuat saia paranoid tingkat tinggi kalau harus pergi dengan bertipe terjun bebas. Naik pesawat jenis ini memang paling rawan kalau pas landing atau pas take off, serasa mau dihujamkan ke tanah tingkat terbawah. pesawat jenis ini tidak memperbolehkan kita untuk duduk tenang menikmati gelembung-gelembung awan yang tersusun rapi di batas cakrawala. Yang ada hanyalah keringat dingin mengucur tanpa henti, membasahi baju yang beberapa hari ini berbau tidak sedap. Gila banget deh rasanya, aku tidak mau naik itu lagi setelah pengalaman yang tidak mengenakkan terbang pake Batavia Air pulang-pergi ke Manado.
                  Tampaknya saia memang tidak beruntung naek pesawat yang lebih beradab dan lebih berbudaya macam Garuda Indonesia. Kemarin adalah liburan yang terpotong karena mendadak harus pulang membawa dokumen penting untuk persyaratan sekolah ibu di Jepang. Alhasil, saia yang harusnya pulang hari rabu pagi memakai kereta murah malah harus mencari tiket pesawat dengan harga yang sangat mahal. Asem tenan. Karena saia harus transit dulu di kampusnya si Rio (Atmajaya) dan terpaksa mencari travel agent terdekat yaitu di Pelasa Semanggi atau bahasa ndesona disingkat dengan Pelangi. saia mencari tiket disana dengan keterburu-buruan ang teramat sangat, setelah melalui birokrasi yang berbelit dan menyita waktu. saia diharuskan membayar tiket seharga 700 ribu untuk pulang ke rumah saia tercinta. Harga termahal pesawat yang pernah saia berikan kepada pesawat terjun bebas macam itu. Saia kira pesawatnya adalaha Lion Air, beberapa menit yang lalu teman saia bercerita kalau pesawatnya Lion Air masih dalam kondisi baru lengkap dengan kursi berbalut plastik, bau toko, dan bermacam-macam hal yang bisa menandakan kalo pesawat itu masih dalam kondisi baru, jadi aku tenang-tenang aja karena akan naik pesawat baru, begitu pikirku. Tapi, keadaan hatiku berubah 360 derajat (lho balik lagi donk), maksudku 180 derajat, begitu melihat maskapai penerbangan yang ada di lembar tiketku.
           Disana tidak ada tulisan Lion Air seperti yang aku bayangkan sebelumnya, yang ada adalah tulisan Wings Air. "What!!!" begitu pikirku. Asem. Aku langsung protes, " Kok Wings Air mbak?" dan mbak penjaga tiket yang menurutku tidak begitu menarik karena sangat lambat memberi pelayanan itu menjawab "Iya, Wings itu anak maskapai Lion". Ah, pikirku fuckin shit juga ini. Aku langsung ketar-ketir begitu mengetahui hal ini. Lha, bayangkan saja kalau saia kemudian sampai jatuh karena naek pesawat model terjun bebas macam ini. Mendingan aku mati naek becak donk. Kalau naek becak khan paling enggak kita tahu kalau becak itu dalam kondisi sempurna dan matinya juga paling ditabrak sama mobil, syukur-syukur mobilnya merek BMW, atau Mercy atau mungkin Jaguar, lebih prestise gitu kayaknya. Lha kalau naek pesawat terjun bebas ini, berasa mati sebagai orang bodoh, lha udah tau pesawatnya bobrok kaya itu, sistem navigasinya juga kembang-kentut, masih aja dinaekin,salah siapa coba? Ah, pokoknya pikiran-pikiran aneh berkecamuk pas tanganku menerima lembaran tiket itu. Tapi, ya sudah mau gimana lagi to, kata Rio, "Wis lah Pink, jas 4  ur mom!" Iya nih, semua demi ibuku, moga-moga aja selamat sampai tujuan.
             Apa yang aku takutkan terjadi juga. Pas mulai mebur (tinggal landas) sih nggak papa karena aku juga sedang dalam posisi mengantuk tingkat tinggi. Bayangkan saja, tadi malem malah maen PES 2008 sama rio sampe jam 2 pagi, padahal harus bangun jam 5 pagi. Otomatis mata sudah tidak bisa terkoordinasi dengan baik dan memilih tidak berkompromi melawan takdir hidupnya. Masalah terjadi saat mau landing, kebetulan aku sudah bangun dari mimpi yang tidak enak dan pesawat sedang berada di atas gumpalan awann. Aku bisa liat dari jendela kalo awan-awan putih itu bukan jenis awan tipis yang biasanya menggelanyut di angkasa, tapi jenis awan pembawa hujan yang sangat bergumpal-gumpal besarnya. Padahal, beberapa menit lagi pesawat mau landing, berarti dia harus menembus melewati gumpalan awan itu. Parahnya adalah si pilot itu tampak ragu-ragu ketika dia mau menembuskan pesawatnya masuk ke dalam gumpalan awan itu, dia seperti menggeber mesinnya lalu melepaskannya, kaya ngegas motor terus dilepaskan, gas-lepas-gas-lepas-gas-lepas. Wah, aneh banget pokoknya, lha aku takut kalo pesawat itu nggak bisa ngegas lagi, jadi pas lepas gas, lepas juga deh pesawatnya, pilot lepas tangan, dan nyawaku juga LEPAS. Arggghhh...stres tingkat tinggi pas mau mendarat. Serasa jiwa mau lari dari raga.Halah.
             Untungnya beberapa menit kemudian,pesawat sudah bisa melakukan tugasnya dengan baik. Awan itu sudah bukan menjadi masalah walaupun pas masuk gitu, pesawatnya sempat goyang-goyang nggak karuan, asem tenan. Gahar bangetlah pokoknya. Kaya turbulensi gitu lho, padahal aku sendiri gag tau turbulensi ki opo artine, tapi yang jelas, kaya di bis kota pas lewat jalanan berbatu. Kaya gitu mungkin perumpaannya. Payah banget. Selesai masalah awan, masalah laen timbul sama tidak mengenakkannya. Pesawat udah siap-siap mau landing nih, hatiku sudah bersorak gembira karena sebentar lagi menginjak rumahku tercinta. Tapi, yups...masalah laen datang menghampiri. Pas udah landing, aku mendengar suara berdebum yang banter, suaranya kaya pecut di film-film sadomasokist. Auuhhh....auuuhhhhh......kalo di film-film mungkin suara pecut itu bikin sensasi yang tidak terkira. Lha pada situasi ini, suara itu sama sekali tidak menimbulkan gebu-gebu seks yang memberingas, tapi malah merasa hampir mau mati. Serasa diujung senapan berpuluh-puluh senjata laras panjang. Sial tenan. Deg-degan setengah mati karena suara aneh yang mendadak memenuhi kabin pesawat. Aku langsung membayangkan roda pesawat yang tidak kuat menahan beban dari atas, lalu patah, tergelincir, terseret di landasan sepanjang beberapa ratus meter, kebakar hidup-hidup, dan segudang pikiran imajinatif yang mungkin akan menerima cap tidak lulus sensor dari MUI. Apalagi pas ngerem, suara itu makin memekakkan telinga. Mungkin kalo penahannya tidk kuat, pesawat itu bisa salto 360 derajat ke belakang. edan tenan. Tapi untungnya, masih diberi selamat oleh Tuhan. Hahaha..
Kata terakhir: Jangan pernah sekali-kali naek pesawat tipe terjun bebas macam itu, kalau terpaksa, siap-siaplah mati secara tidak terhormat. 
*Paranoid tingkat lanjut dengan pesawat terjun bebas!

Rabu, 06 Agustus 2008

Penguak Membran Kemaluan

Mengurai Hidup: pilihan kata yang mungkin tidak lazim dipakai dalam keseharian kita sebagai manusia. Mungkin hanya segolongan manusia penuh imakjinasi nakal yang akan memilih kata ini. Ya, tapi sering orang lupa untuk sekedar berpikir sejenak menjelajahi dunia bawah sadarnya. Menemukan jawab yang mungkin terselip ketika mereka melangkah keluar rumah, melihat dunia sekitar, dan kemudian duduk manis di meja makan sembari menikmati segelas kopi panas. Inilah kita, tanpa bahasa, tanpa suara, meniadakan secara sengaja esensi hidup yang otomatis terlupa karena mengejar waktu. Coba berdiam sebentar. Tidak perlu tempat seromantis seperti di Before Sunset, cukup di undak-undakan depan rumah, atau duduk di kursi tamu. Berdiam barang lima menit. Memahami alam dan segala seluk beluknya. Atau yang paling mudah, menelusur jejak perjalanan sehari. Siapa tahu ada yang tertinggal di sana dan masih bisa di daur ulang. Mari bercerita sejenak mengurai hidup!