Selasa, 14 Oktober 2008

Pake Hati Donk, Mas!


Tadi malam saya benar-benar tertidur secara tidak nyenyak. Di tengah keenganan untuk meneruskan belajar yang membuat saya tidak lancar mengerjakan ujian, berbagai pikiran imajinatif menyerang sendi-sendi pertahanan otakku. Mulai dari imajinasi yang saru sampai yang bermutu. Lebih banyak sarunya mungkin! Nah, di kala saya sedang asik-asiknya bercinta dengan guling di taman surga, saya terbangun mendengar bunyi kotak kecil yang menghubungkan saya dengan bermacam-macam orang di luaran sana. Begini bunyinya:

Si sms : Pink! Knp to kebanyakan pria begitu egois? Huff.
Saya : Iya. Lelaki memang brengsek.Egois. Kenapa? Mgkn gawan bayi nek sifat kuwi. Ono opo
to emange?

Sms itu saya tulis pukul 1 dini hari, sesaat setelah saya terjaga karena bunyi alarm yang
sengaja saya taruh di dekat telinga. Pagi harinya pas aku ketemu dengan temanku itu di
kampus. Obrolan itu langsung menjadi topik pembicaraan utama. Dia langsung bertanya
kepadaku.

Si teman : Pink, kalau misalnya saya bilang, ini hapeku jadi terserah aku mau
ngapain aja, apa tanggepanmu?
Si saya : Wah, yo biasa wae to? Nek aku mah ra popo, asalkan kowe le ngganggo hape
njuk tidak mengganggu orang lain. Sesuaikan konteks sajalah.

Si teman saya itu langsung manggut-manggut mendengar opini itu. Sedetik kemudian, dia mulai bercerita kenapa dia sampai harus mengirimkan sms itu kepada saya. Ternyata, dia sedang marahan dengan adiknya, mungkin bisa dibilang marah akut tapi nggak bisa nampar, ngludah, nginjek muka orang yang buat marah karena yang buat marah adalah adiknya sendiri. Jadinya dia melampiaskan segala kekesalannya di depanku. Apa gerangan yang membuatnya jadi sebegitu kesal? Nah, ceritanya begini, adik teman saya itu baru saja putus, lalu si teman saya itu tanya kepada adiknya.

Si teman : Heh, ngopo kowe kok ndadak putus barang?
Si adik teman : Yo ben to, sakarepku!
Si teman : Yo nggak bisa gitu no, kamu egois! (mungkin disampaikan dengan gaya slow motion ala sinetron-sinetron remaja kacangan yang marak beredar di telepisi)

Woh, langsung mendidih itu si temanku mendengar adiknya berkata seperti itu. Saya pun menanggapi kekesalannya dengan manggut-manggut nggak jelas dan malah melayangkan pikiran untuk bisa menulis sesuatu mengenai keegoisan lelaki.

Malam harinya, saya diajak curhat sama temenku yang laen. Kebetulan dia baru saja “ditinggal” secara paksa oleh lelaki yang selama ini memperlakukan dia layaknya seorang putri. Nah, jebule si teman saya itu sangat sakit hati dengan lelaki yang memperlakukannya seenak wudelnya sendiri (wudel sendiri ki enak rasane po piye je?). Lalu mulailah dia bercerita panjang lebar mengenai apa yang terjadi antara dia dan lelaki itu. Ceritane panjang tenan (berlebihan ki aku), jadi kesimpulannya adalah sampai pada saat dia sudah sakit hati pun, si cowok nggak sadar kalau dia itu salah dan malah mau cari “korban” untuk disakiti lagi. Kata teman saya, si lelaki itu selalu butuh kasih sayang dan perhatian dari seorang wanita. Lha, njuk saya tanya.

Si pink : Menurutmu, teman lelakimu itu termasuk berkelakuan egoiskah?
Si teman saya : Yaelah, jelas bangetlah kalo dia EGOIS!

Obrolan yang berlangsung selama setengah jam itu dihabiskan dia untuk berkeluh kesah tentang lelaki yang secara sadis mengiris-ris hatinya (halah. Bahasamu lik-lik!). Walah...walah..sejurus kemudian saya njuk berpikir apakah sebegitu egoisnya kaum lelaki di mata wanita? Secara tidak hormat dan disertai dengan imajinasi tanpa batas, saya pun menelaah lebih lanjut, apa yang sebenarnya terjadi dengan pemikiran dan idealisme para kaum di dunia saya.

Hmmm....sebenarnya kalau dibilang lelaki itu egois sih, sah-sah saja, malah kemungkinan besar dugaan atau tudingan yang dilontarkan oleh para wanita itu banyak benarnya. Para lelaki itu lebih sering menggunakan otaknya untuk mengambil suatu keputusan dan jarang memakai perasaannya sebagai suatu pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Yups, RASIONALITAS. Itulah yang selalu dikemukakan sebagai dalil untuk penyelesaian suatu masalah. Asalkan apa yang diputuskannya itu rasional dan menurut dia adalah sesuatu yang benar, maka tidak perlu repot untuk memikirkan apa yang orang lain rasakan akibat dari keputusannya itu. Contoh gampangnya adalah apa yang tadi malem saya lihat di tipi, seorang cowok dengan tega memutuskan pacarnya hanya karena dia sudah bosan dengan hubungan mereka. Lha, untuk memuluskan jalan agar segera bisa putus, si lelaki itu merancang berbagai macam pembenaran supaya si perempuan bisa menerima keputusannya. Padahal, di lain sisi, si wanita sudah nangis mbeker-mbeker ngguling-ngguling, tapi tetep saja si lelaki tidak mau untuk memperbaiki hubungan itu dan tetap memilih untuk putus. Apakah si lelaki itu egois?

Sebenarnya kalau dalam hubungan pacaran, egois ini bisa terjadi lewat proses atau memang sudah gawan lahir dari si lelaki itu sendiri. Kalau yang gawan lahir, itu mah karena dari awal sifatnya dia sudah seperti itu. Nah, bagaimanakah egoisme yang terjadi lewat proses? Terkadang kita menemukan wanita dengan tipe yang anteng, manutan, tidak banyak menuntut, dan berbagai macam kebaikan lainnya. Sehingga dalam relasi berpacaran, pihak lelakilah yang lebih banyak mengambil keputusan. Semua pertimbangan selalu ada di pihak lelaki. Apa yang dimaui oleh lelaki selalu dituruti oleh pasangannya. Alhasil, si lelaki jelas akan merasa lebih berkuasa daripada si wanita karena si wanita itu sendiri tidak punya bargaining position yang cukup kuat untuk bisa menolak keputusan si lelaki. Selain itu, para wanita itu punya seribu macam cara untuk melakukan manipulasi ekspresi, sehingga kalau semisal dia tidak suka dengan apa yang si lelaki lakukan, dia akan terlihat senang-senang saja dan tidak ada masalah. Kondisi seperti inilah yang kemudian akan membuat si lelaki terbiasa untuk “dimanjakan” oleh si wanita sehingga si lelaki akan selalu berkutat dengan pemikirannya sendiri dan LUPA untuk juga menyertakan (perasaan) si wanita dalam setiap hal yang mau dia putuskan. Pada akhirnya, konsep saling memahami antara satu sama lain pun menjadi tidak tercapai. Yang satu merasa bisa memahami, tetapi di lain sisi, pasangannya merasa tidak pernah dipahami oleh yang lain. Inilah yang kemudian sering menjadi penyebab retaknya relasi pacaran. Tidak ada kesepahaman perasaan antara lelaki dan wanita.

Yah, sebenarnya sisi lemah dari kebanyakan lelaki adalah dia itu punya sifat bawaan sombong, suka berkuasa, dan tidak rendah hati. Inilah yang kemudian akan merembet pada tindakan-tindakannya yang cenderung egois dan tidak mempedulikan perasaan orang lain. Hwuh, sebuah sikap yang menurut saya sudah harus dihilangkan ketika seorang lelaki memasuki usia 20 tahun. Dengan tingkat pemahaman dan idealisme yang semakin tinggi seharusnya diikuti juga dengan kemampuan “mengerti” orang lain. Kalau seorang lelaki tidak juga bisa menyeimbangkan antara kemampuan berpikirnya dan kemampuan memahami orang lain. Maka dia akan cenderung bersikap layaknya diktator yang tidak pernah mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha melaksanakan ambisinya dengan cara apapun. Nah, kalau keseringan tidak bisa memahami orang lain, maka lambat laun orang-orang di sekitarnya pun tidak akan pernah mau (bersusah-susah) memahami perasaannya terlebih ketika dia kesusahan. Makanya, pake hati donk mas!

PESAN OF THE WEEK: “Jangan pernah bersikap egois pada siapapun mulai sekarang, emang mau kalau kamu lagi putus cinta dan butuh teman curhat, tapi yang mau ngedengerin cuma bantal ama guling? Iihhh…gw mah ogah!”

KESAN OF THE WEEK: “Memahami orang lain adalah sebuah seni yang akan sangat mengasikkan kalau dilakukan. Karena dengan memahami orang lain kita akan menelusup masuk dan menjelajah ke alam pikiran dari orang tersebut. Cobalah dan kamu nggak akan menyesal!”

*buat yang merasa ditulis, maaf ya, hehehe.....
*touch of writing-ku sedang kacau nih, maaf kalau tidak enak dibaca, hehe....

Jumat, 10 Oktober 2008

Hormati Kelamin Sesamamu!

Sore ini saia sedikit memutar otak melihat sebuah iklan shampo di televisi. Iklan itu bercerita tentang seorang anak perempuan berambut panjang yang diantar ibunya menemui pelatih sepakbola di sekolahnya. Kemudian muncul beberapa percakapan antara mereka berdua.

Si ibu : “Pak, ijinkan anak saia untuk masuk tim sepakbola”
Si pelatih : “Nah, itu kan untuk anak lelaki?”
Si ibu : “Tapi kemampuannya sama dengan anak-anak lelaki, pak!”
Si pelatih : “Iya, tapi nanti kalo kotor kena debu, rambutnya lepek, bagaimana?”
Si ibu : “Ah, bapak hanya tinggal melatihnya, lainnya saia yang urus!”

Nah, akhirnya si anak pun dilatih secara khusus oleh pelatih tersebut. Jatuh bangun menangkap bola di tanah yang berrdebu, tapi si anak pantang menyerah. Sampai si anak pun ikut dalam satu pertandingan sepakbola dan dia akhirnya mencetak satu gol penentu dengan tendangan volley sambil menggeraikan rambutnya yang panjang itu. Iklan yang agak aneh sih menurutku, tapi bukan itu point yang mau saia ambil.

Iklan yang tidak seberapa menarik itu melambungkan saia pada kejadian beberapa tahun silam. Saat saia bersusah payah menyelesaikan karya tulis sebagai tugas untuk kenaikan kelas. Kebetulan topik yang saia ambil adalah mengupas makna seks dalam novel yang ditulis Djenar Maesa Ayu berjudul “Jangan Maen-Maen (dengan Kelaminmu)”. Topik yang saia kira tidak banyak disadari oleh teman-teman saia kala itu. *mungkin inilah yang menjadikan saia sedikit aneh di mata teman-teman dekat saia, kadang-kadang pikiranku suka berimajinasi berlebihan* Nah, salah satu judul cerita yang saia kupas ada yang berjudul “Menyusu Ayah”. Inti ceritanya adalah seorang anak perempuan piatu karena ibunya meninggal pada saat proses kelahirannya. Yang paling menarik menurut saia adalah satu paragraf yang cukup membuat saia terhenyak ketika membacanya untuk pertama kalinya. Begini bunyinya.

Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.

Itulah yang membuat saia pada akhirnya sedikit sebel dengan iklan yang baru saja saia tonton itu. Selain dari segi estetika tidak terlalu menarik, kalau dikaji lebih lanjut, iklan itu pun menunjukkan bahwa perempuan berada pada kondisi yang lebih rentan daripada lelaki. Perempuan masih dianggap sebelah mata ketika dia berusaha untuk memasuki dunia yang selama ini lekat dengan maskulinitas, seperti misalnya sepakbola, politik, dll. Perempuan ditakdirkan untuk mempunyai kodrat-kodrat yang berkaitan dengan posisinya sebagai seorang perempuan, misalnya melahirkan, merawat anak, mengurusi keluarga. Begitulah yang selama ini mentradisi dalam masyarakat Indonesia. Perempuan dipaksa untuk terkungkung dalam kodratnya sebagai seorang perempuan. Kalau pun semisal dia berusaha untuk memilih tidak melakukan apa yang sudah dikodratkan “masyrakat” kepadanya, maka gunjingan akan segera terjadi baik itu di pihak internal ataupun eksternal perempuan tersebut.

Kalau boleh meminjam istilah yang tidak disukai salah seorang teman saia (Sista.red), wanita berada pada posisi yang inferior sedangkan pria ada di posisi yang lebih superior. Ya, itulah yang sejak dahulu berkembang di masyarakat Indonesia, perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Salah seorang filsuf Prancis pernah menulis bahwa perempuan itu adalah second sex, dimana dia memang sudah dilahirkan tidak dalam posisi yang sejajar dengan lelaki, tetapi dalam posisi yang lebih bawah.

Tekanan yang begitu besar dari “dunia maskulin” pun membuat jengah beberapa golongan perempuan yang menamakan diri sebagai penganut feminisme. Sebuah aliran atau boleh dibilang suatu idealisme yang mendasarkan kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Mereka berusaha agar para perempuan diberi posisi yang sejajar dengan para lelaki. Mereka tidak ingin melebihi kaum lelaki, tetapi paling tidak jadikanlah mereka partner untuk kaum pria. Itulah beberapa “tuntutan” yang sering disuarakan oleh mereka. Sehingga banyak di antara mereka yang rela tidak menikah karena menikah sama saja dengan memposisikan diri mereka ada di bawah laki-laki. Fiuh. *bisa-bisa gag ada lagi cerita malam pertama nek kabeh wong wadon duwe pikiran koyo ngene!*

***

Saia kira tidak ada seorang ayah yang menyesal bila dia diberi karunia berupa anak laki-laki. Lain halnya ketika Tuhan memberikan dia anak perempuan, akan ada sejenak raut wajah kekecewaan walaupun pada akhirnya dia tidak berbuat apapun terhadap kondisi tersebut. Laki-laki yang sudah sejak lahir seperti “terkodratkan” untuk berada di atas perempuan pun sering memiliki arogansi yang kelewat batas terhadap para perempuan. Berbagai kesombongan pun terpancar dari segala tingkah laku mereka untuk menunjukkan bahwa mereka lebih berkuasa daripada lelaki. Perasaan tidak terima dan merasa terlecehkan pasti akan langsung menyeruak ketika ada perempuan yang berada pada posisi yang lebih tinggi daripadanya. Berbagai proteksi pun dilancarkan agar si perempuan tidak bisa mencapai posisi yang lebih tinggi dari lelaki. Kebanyakan lelaki akan takut kalau perempuan ada di posisi yang “lebih berkuasa” maka mereka akan diperlakukan secara sewenang-wenang dan akan dipermalukan harga dirinya. Sebuah ketakutan yang saia kira tidak masuk akal.

Hal ini pulalah yang tercermin dalam dunia kehidupan sehari-hari. Tidak usahlah mengambil contoh kuota DPR yang sampai saat ini pun kursi untuk caleg perempuan yang “hanya” 30% itu tidak kunjung bisa terpenuhi. Lihat saja keseharian di sekeliling kita, bolehlah kita ambil contoh masalah percintaan. Baru-baru ini saia mendengarkan cerita dari adik sepupu saia (adik sepupu saia ini perempuan.red) yang baru saja putus dari pacarnya. Walaupun sudah putus, si mantan pacarnya adik saia ini nggak terima kalau semisal si adik saia itu dekat dan akhirnya pacaran dengan lelaki lain. Aneh nggak sih? Menurut saia sih aneh banget. Itu mungkin perilaku otomatis yang akan dilakukan seorang lelaki ketika posisinya terancam.Yup, si lelaki itu pasti akan berpikir kalau si saudara saia itu akan meninggalkan dia dalam kondisi masih “sendirian” alias belum punya pengganti. Dan saia yakin, sikap yang ditunjukkan oleh lelaki itu hanyalah sikap seorang pengecut yang tidak mau mengakui “kekalahan” nya terhadap orang lain apalagi seorang perempuan. Adik saia itu pun sempet beropini “Egois banget yo mas si mantanku itu.” , dengan tegas dan lantang saia jawab “YA”.Hehe. Memang begitu kenyataanya, lelaki itu sering merasa lebih berkuasa dalam menjalani sebuah hubungan, sehingga dia cenderung sombong dan tidak mau peduli dengan pasangannya. Akibatnya sudah bisa ditebak, dalam hubungan pacaran itu, sering sekali si lelaki menyakiti hati pasangannya, baik itu sadar maupun tidak sadar. Nah, kalau si perempuan sudah tidak sabar dengan sikap si lelaki, lalu mereka pun berontak dan minta putus. Selalu begitu akhirnya. Walaupun sudah putus, si lelaki masih saja tidak mau mengalah dan merelakan perempuan yang pernah jadi pasangannya untuk bisa memadu kasih dengan lelaki lain. Ckckckck….dasar lelaki!

PESAN OF THE WEEK:
“JANGAN JADI HOMO, KARENA KALIAN SUDAH TAHU KAN KALAU LELAKI ITU BRENGSEK, MAKANYA NIKAHLAH DENGAN WANITA SAJA BUKAN DENGAN LELAKI!”

KESAN OF THE WEEK:
“JADILAH LELAKI YANG RENDAH HATI, JANGAN MERASA SOMBONG TERHADAP POSISIMU, KARENA SAIA PERCAYA PEREMPUAN ITU SEBENARNYA LEBIH BERKUASA DARIPADA KITA, TAPI BEDANYA MEREKA RENDAH HATI DAN TIDAK SOMBONG!”

OH IYA...SELAIN RENDAH HATI DAN TIDAK SOMBONG,WANITA JUGA RAJIN MENABUNG!*

*halah. Ra penting banget iki!
*buat temen2ku di kampus, berhentilah untuk menjadi homo sejak sekarang. nggak enak. beneran. bolongane homo ki mung siji. hahaha. saru tenan!

Selasa, 07 Oktober 2008

Perfeksionis Tidak Becus Anti Kritik


Mungkin judul itulah yang cukup tepat untuk menggambarkan kondisiku selama ini. Terlebih lagi aku tadi pagi-pagi sudah beradu argumen dengan ibu di kamar tidur milik beliau. Penyebabnya sepele memang, aku mau buang air besar di kamar mandiku tapi kebetulan bapak sedang mandi di sana. Terus ibuku menyarankan untuk memakai kamar mandi di kamarnya, aku tidak mau dengan alas an dudukannya terlalu pendek sehingga nggak nyaman, lagipula nanti kalo rejek (airnya menggenang.red) aku pasti akan kena marah beliau. Eh, tau-tau ibuku langsung menanggapi dengan ngomong “Orang yang survive adalah orang yang bisa beradaptasi dengan cepat!” Ya terus terang aku langsung diam dan menahan marah seketika menanggapi omongan ibuku tersebut. Padahal tadi malam aku kena marah lagi karena aku nggak mau mengambilkan kunci apotik. Yah, pokoknya suram duramlah kondisiku sama ibuku belakangan ini. Tapi untungnya si bapak masih menciptakan suasana yang cukup kondusif sehingga aku masih saja betah tinggal di rumah ini.

Aku tiba-tiba berpikir setelah aku dibangunkan oleh bapakku pagi ini, apakah aku orang yang perfeksionis dan anti kritik? Yups, mungkin inilah target perbaikan pribadiku selanjutnya, setelah apa yang kualami selama ini, mungkin sifat ini secara tidak langsung mengendap dalam paradigmaku. Semenjak kecil aku sudah dibentuk sebagai seseorang yang hebat dan harus kelihatan pintar di hadapan orang lain. SD aku sudah langganan juara 1 sejak kelas 1 sampai kelas 6, kalaupun tidak beruntung aku paling-paling jadi juara 2. Hasil buruk yang menimpaku pas ebtanas membuat semangatku untuk membuktikan bahwa aku pintar membuncah ketika aku masuk smp. Di sana aku berhasil menjadi ranking satu parallel satu angkatan, cukup membanggakan memang, dan cukup membuat aku dicap sebagai anak pintar di sekolah. Prestasi ini memang tidak bisa kupertahankan karena kinerja yang menurun, tapi berhasil lagi kuraih saat-saat terakhir di smp. Kejadian yang sama terjadi pada saat sma, tidak ada sesuatu yang istimewa karena aku berada di kelas yang benar-benar hancur, bayangkan saja dari 40 anak yang tidak naik kelas ada 11 orang. Hebat bukan! Prestasiku konstan-konstan saja, sampai pada ujian akhir sekolah aku bisa berada di peringkat 7 sekolah walaupun terpuruk ke urutan 69 ujian akhir nasional. Tapi hasil ini membuatu aku bangga dengan apa yang sudah aku lakukan selama ini.

Itulah track record yang bisa saia beberkan kepada kalian semua yang membaca tulisan ini. Tapi apakah hidupku hanya untuk pencapaian akademik seperti itu? Aku juga tidak mau terjerumus untuk berkubang dalam lingkaran pendidikan yang terkadang hanya menjadikan manusia utuh setengah sebagai seorang pribadi. Lahir dari ibu yang pintar dan sekarang jadi dokter tekenal serta perfeksionis secara tidak sengaja menurunkan genetic sifat tersebut kepadaku. Pokoknya aku harus bisa seperti ibu. Itulah yang ada di benak kala SD dan SMP. Saat SMA aku sudah tidak mau lagi disama-samakan dengan ibuku lagi, dan pemberontakan yang paling keliahatan adalah aku tidak belajar supaya aku kelihatan bodoh dan tidak disandingkan dengan ibuku. Tapi segala usaha itu sirna karena aku tetap saja bersifat perfeksionis dan ingin semua orang kagum atas kepintaranku. Inilah yang tidak bisa lepas dari hadapanku, bahwa aku ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Aku ingin dihargai dan dipandang sebagai orang yang pintar, sukses, dan selalu bisa melakukan segala sesuatu di hadapan orang lain. Aku tidak ingin terlihat sebagai orang bodoh yang bisanya hanya bisa plongah-plongoh dan tidak berbuat apapun bagi orang di sekitarnya.

Akibatnya sudah bisa ditebak, aku tumbuh menjadi orang yang egois dan tidak mentolerir segala macam bentuk kekurangan. Terlebih ketika ada orang lain yang mencoba untuk mengkritik apa yang aku lakukan pasti akan ada rasa marah yan terbersit di dada.Huh…aku mulai jengah dengan sikapku yang satu ini. Lebih lagi bahwa aku harus tinggal satu rumah dengan orang yang perfeksionis dan orang itu sangat dekat denganku. Mungkin ini bisa jadi sifat yang baik ketika dua orang tersebut saling dukung, tapi aku tidak terlalu suka dengan cara ibuku memperingatkan aku. Ibuku pasti straight to the point bila ada sesuatu yang tidak ia suka. Aku menilai caranya ini tidak melahirkan situasi yang baik untuk tercipta suatu proses diskusi yang membangun jati diriku. Aku masih menganggap bahawa aku masih perlu banyak belajar mengenai hal-hal yang ada di sekitarku. Aku masih kecil dan tidak terlalu mengerti mengenai dunia ini. Walaupun aku terbiasa hidup “sendiri” semenjak kecil toh aku tidak bisa hidup selamanya dalam sikapku yang seperti ini. Aku sangat sadar bahwa tidak semua orang di dunia ini akan bisa menerimaku secara terbuka, memahami secara baik apa yang aku kerjakan, dan bila aku terus memelihara sikap ini, maka aku akan menemui kesulitan yang sangat besar di dunia yang sesungguhnya. Ya, aku sering mendengar bahwa orang yang tidak mau dikritik adalah orang yang paling bodoh sedunia. Dia menganggap kalau dia adalah orang yang paling pintar, tetapi kenyataannya dia adalah orang yang paling bodoh dan paling dungu di seantero jagad raya. Itulah yang aku rasakan akhir-akhir ini, aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Dan sedikit demi sedikit aku mulai berkata kepada diriku sendiri bahwa
“Aku adalah orang yang paling tidak tahu segalanya di dunia ini!”
sehingga aku perlu menyerap apapun yang memang pantas untuk aku pelajari. Orang yang bersedia dikritik berarti dia adalah orang yang RENDAH HATI, begitu kata Bunda Teresa. Orang yang rendah hati adalah orang yang tidak sombong, orang yang tidak mau berdebat dengan orang lain walaupun dia tahu bahwa hal itu adalah hal yang benar. Ya pokoknya seperti itulah! Dan aku masih jauh dari apa yang pernah dikatakan oleh Bunda Teresa tersebut. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Mumpung aku masih ada di rumah dan masih ada orang yang setia memperhatikan. Begitulah yang seharusnya diperbuat!

Aku terkadang iri dengan Yosi, Siddha, ataupun Wandan yang bisa dengan enak berdiskusi dengan orangtua mereka ketika mereka melakukan sesuatu yang salah. Dan itu aku anggap sebagai sarana pembentukan diri yang cukup hebat. Sedangkan aku hanya bisa menulis dan memecahkan masalahku sendiri secara pikiran dan apa yang aku anggap benar. Sehingga terkadang aku bersikap bahwa segala yang aku lakukan benar adanya dan tanpa cacat. Padahal aku yakin bahwa apa yang aku lakukan bahkan tidak lebih baik daripada seorang gelandangan sekalipun. Ya inilah hidupku! Aku harus menerima ini sebagai salah satu cara untuk memperbaiki hidup karena tanpa perubahan dan evaluasi serta pembenahan diri setiap harinya, aku sudah menjadi mayat hidup yang hanya bisa berjalan tanpa tentu arah. Aku berpikir kalau sikapku yang mirip ibuku ini hanya bisa ditangani oleh orang yang benar-benar mengerti akan behavioral maternal yang menurun kepadaku. Ya aku harus meminta tolong untuk ini sebelum semuanya terlambat. Kepada siapa? Siapa lagi kalau bukan kepada bapakku, hahaha……

“Semoga aku tumbuh menjadi seorang perfeksionis yang rendah hati dan tidak anti kritik!!"


Minggu, 05 Oktober 2008

Takut Mati

Takut Mati
Minggu pertama bulan oktober!

Pernahkah anda mengalami perasaan takut akan kematian? Mungkin akan banyak yang tidak takut tapi diantara segelintir itu pasti ada sejumput orang yang takut bila harus berhadapan dengan kematian. Biasanya sih sindrom takut mati itu terjadi bila kita harus berhadapan dengan situasi yang tidak bisa dikontrol oleh diri sendiri. Dalam artian situasi yang sedang ada di depan mata kita tidak akan bisa dirubah dengan kekuatan yang ada di dalam diri kita. Kalau tak pikir-pikir lagi kok kayanya definisi sindrom takut mati yang saia lontarkan ini kurang sesuai ya? Tapi biarlah, namanya juga tulisan bebas.

Beberapa kali saia pernah merasakan sindrom takut mati. Biasanya sindrom ini akan kambuh dengan sendirinya ketika saia naik pesawat. Entah kenapa saia menjadi paranoid sekali semenjak penerbangan ke Manado hampir setahun yang lalu. Saat itu pesawat yang saia tumpangi adalah milik perusahaan VOC yang bangkit lagi untuk mengenang masa lalu lewat udara (baca:Batavia Air). Nah, sebenarnya tidak ada masalah dengan pesawatnya, tapi awal tahun kan ada pesawat Adam Air yang jatuh secara mengenaskan. Padahal pesawat itu kan pasti akan melwati daerah selat makassar yang menjadi momok karena medan magnet yang sangat kuat di daerah itu. Kalau nggak salah, dulu pernah ada koran yang menamakan daerah itu sebagai Segitiga Bermuda-nya Indonesia. Asem tenan. Sepanjang perjalanan Jogja-Balikpapan-Manado hanya berdoa rosario dan nggak mau ngobrol sama temen di sebelahku karena ketakutan yang teramat sangat. Apalagi beberapa kali landing tidak berjalan dengan mulus, ada yang miring ke samping, benturan yang cukup keras, dan beberapa hal lain yang membuatku paranoid sampai sekarang. Itulah pertama kali aku berada di zona takut mati. Entah kenapa aku bisa merasakan hal seperti itu, padahal teman seperjalananku semuanya dalam kondisi santai.

Kemarin aku berada dalam zona takut mati dua kali dalam jangka waktu yang tidak terlalu berselang jauh. Kejadian pertama adalah pada saat saia harus terbang memakai pesawat dengan maskapai yang sama dari Jakarta-Jogja. Perasaan tidak mengenakkan langsung menyeruak ketika tahu harus terbang dengan maskapai itu. Ditambah lagi teman saia yang mempunyai indera keenam secara tidak sengaja menakuti-nakuti saia dengan mimpi buruknya yang akhir-akhir ini menjadi kenyataan. Asem. Tambah paranoid aku. Lebih lagi, pas mau masuk ke ruang boarding tiket yang aku pegang ternyata salah dan harus diganti. Pikiranku langsung berkata “Mungkin Tuhan masih sayang aku dan tidak mau aku mati karena kecelakaan pesawat. Makanya tiketnya sengaja disalahain.” Segala jenis ketakutan yang tidak beralasan hinggap silih berganti di otakku. Terlalu berlebihan memang, tapi saia membiarkan ini hanya berkecamuk di kepala. Saia tidak sebegitu tololnya sampai-sampai harus menunjukkan perasaan takut mati dengan ekspresi bak seniman teater yang mati-matian menghayati tiap peran sandiwaranya. Alhasil, di pesawat saia terus-terusan mendaraskan doa kepada Tuhan supaya kalau aku mati paling tidak aku mati dalam keadaan sedang berdoa. Benar-benar bikin deg-degan. Sial!

Kejadian kedua menimpaku malam harinya, aku sampai rumah jam 5 sore setelah sempat bertengkar dengan Indra di halte bis trans jogja. Habis itu langsung ke rumah Neni untuk menjemputnya dan ke gereja. Rencananya, sepulang gereja saia mengantarkan Neni sampai ke Solo karena besok memang dia ada ujian praktikum. Bodohnya saia tidak mengetahui batas kemampuan diriku. Saia yang pertama kali menawarkan untuk mengantarkan sampai ke Solo. Dan sekali ngomong tentu saja saia tidak mencabut lagi (kecuali untuk alasan tertentu). Perjalanan Jogja-Solo saia lalui dengan cukup mudah karena ada teman ngobrol sehingga aku yang sedang dalam kondisi ngantuk dan laper tidak menghiraukuan perasaan itu. Nah, masalah datang ketika saia harus melakukan perjalanan pulang ke Jogja. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Perut keroncongan karena belum makan semenjak siang. Mata mengantuk karena kecapekan. Apalagi situasi ini diperparah dengan tidak adanya teman dalam melakukan perjalanan. Alhasil, saia membeli sekotak terang bulan yang ternyata cukup ampuh untuk mengganjal perut sekaligus membuat saia TAMBAH NGANTUK!

Bener aja, mataku sudah semakin berat semenjak keluar dari Surakarta menuju jalanan lurus yang tanpa ujung. Waktu pertama sih masih sanggup nge-gas sampe 100km/jam, tapi lama-lama kok ngantuknya semakin parah ya. Beberapa kali tertidur sepersekian detik dan hampir menabrak separator jalan. Nggak bisa mbayangin deh kalo aku nabrak separator dalam kecepatan yang cukup tinggi. Bisa hancur berkeping-keping tuh mobil. Keputusan darurat pun diambil, kecepatan diturunkan hampir setengahnya. Itupun ternyata belum cukup untuk mengobati ngantuk yang sudah sampe stadium 3. Apalagi daerah yang sedang dilewati nggak ada sinyal radio. Sepi banget di dalem mobil.
Pernah karena saking ngantuknya, saia tidur di lampu merah terus nyadar kalo udah lampu ijo dan tahu-tahu udah nyampe lampu merah berikutya. Jadinya, aku tidur di satu ruas sepanjang dua lampu merah. Ngeri tenan! Udah beberapa kali belok kanan-kiri gag jelas gitu, hampir keserempet mobil di jalanan sebelah. Edyan tenan. Berasa mau mati tadi malem. Tapi aku pikir kok nggak keren ya, mati karena alasan ketiduran. Gag elit banget gitu kayanya. Untung masih diberkati Tuhan, jadinya bisa nyampe di rumah dengan selamat.

Mari berimajinasi sejenak: tengah malam-tidak ada sinyal radio-perut kenyang habis dikasih makan-ngantuk berat-separator dan bis malam siap menerjang tanpa ampun! Bayangkan saja semau anda, saia sudah pernah mengalaminya dan tidak mau membayangkan lagi.

Sebenarnya sih tidak ada yang salah dengan perasaan takut mati. Orang tua saia pernah bilang bahwa “Urip nang ndonya ki ming nunut ngombe”. Jadi ya memang hidup di dunia ini hanya untuk sementara karena semua orang pasti akan mati. Nah, masalahnya adalah orang-orang yang siap untuk berhadapan dengan kematian “biasanya” orang-orang yang sudah berumur dan merasa punya bekal yang cukup banyak untuk bisa dipertanggungjawabkan di surga. Lha kalo saia yang mati, masih muda gini,dosanya masih banyak, lah pahalanya belum ada sama sekali. Nanti kalo ditanyain, kamu udah ngapain aja di dunia? Masak cuma tak jawab “Kayanya enggak ngapa-ngapain deh di dunia”. Nah lo, bisa berabe tujuh keliling kan, langsung dimasukkan ke dalam neraka tanpa ada basa-basi yang cukup menghibur tuh. Alasan yang sebenarnya cukup bodoh untuk menghadapi kematian. Tapi dalam umur saia yang masih 20 tahun ini, tampaknya saia belum bisa PASRAH untuk menyerahkan hidup saia yang masih tidak berguna ini. Masih banyak hal yang perlu saia persiapkan supaya pada nantinya saia cukup pantas untuk dihantar banyak orang ketika saia mati. Banyak hal-hal baik yang belum saia lakukan di dunia ini. Apalagi cita-cita saia untuk berpetualang di bumi Papua belum juga kesampean. Masak udah harus meninggalkan dunia ini. Kan gag seru juga tuh. Karena itu jugalah, saia pernah bilang pada salah seorang teman. “Mbul, enak juga ya kalo kita kena HIV-AIDS?” Teman saia itu langsung mencak-mencak gag karuan karena nggak setuju dengan apa yang bilang. Terus saia lanjutkan kalimatnya “Lho, bukannya malah jadi enak ya karena kita tahu kapan kita akan mati, jadinya kita akan melakukan segala sesuatu yang terbaik di sisa akhir hidup kita” Nah, baru temen saia itu mikir lebih lanjut. Teman yang aneh memang.

Tapi ya itu, kita memang tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Ibaratnya kalau tuan rumah udah tau kapan maling akan datang ke rumahnya, tentu dia akan mengerahkan satu batalyon tentara supaya rumahnya tetap aman. Jadi, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah BERBUAT BAIKLAH DI SETIAP WAKTU DALAM HIDUPMU, JADI KALO TIBA-TIBA MATI MUDA, KAMU BISA TETEP MASUK SURGA WALAU ADA DI TINGKAT TERBAWAH. Hehehe…..Tulisan yang cukup bodoh. Silakan dibaca dan dipahami lebih lanjut!

*tulisan ini juga bisa dilihat di www.senjakalafajar.blogspot.com