Sabtu, 08 Agustus 2009

(Akhirnya) Berasa Jadi Seorang Kakak

Perasaan ini belum lama hinggap dalam hati. Sebuah rasa yang sepertinya baru kedua kali ini saya rasakan. Dulu sih pernah merasakan yang seperti ini tapi tampaknya tidak terlalu berkesan sehingga tidak membekas dalam benak saya. Kejadian ini baru terjadi kemarin malam, walau stimulusnya sudah saya rasakan sejak beberapa minggu ini.

Beberapa malam lalu, saya sedang sibuk sendiri di kamar, mencoba untuk mencari informasi yang cukup berharga untuk dimasukkan ke dalam otak. Di dalam penelurusuran lewat dunia maya, akhirnya saya menemukan artikel yang cukup berguna dalam misi saya sebagai orang yang berwawasan luas. Situasi kala itu memang terbilang cukup sepi daripada hari-hari sebelumnya. Ini dikarenakan pancuran yang ada di kolam depan kamar mendadak macet, alhasil suasana malam yang biasanya diramaikan oleh gemericik air, harus rela ditemani hening yang menyeruak menabuh sesunyian. Bola mataku tiba-tiba melirik ke arah luar, pintu kamarku memang sengaja kubiarkan terbuka karena tidak ada orang di rumah, takut kalo ada tamu yang tidak diundang masuk. Sekelabat bayangan lewat depan kamarku, ah aku pikir siapa, toh juga tidak ada orang di rumah, begitu pikirku. Aku tidak pernah berpikir tentang segala sesuatu yang aneh dan tidak bisa dimasukkan dalam nalar pikirku. Bagiku cukup melelahkan kalau harus bergumul dengan hal-hal seperti itu. Baru saja sempat berpikir, pintu kamarku sudah tergeser oleh sebuah tangan yang mendadak muncul disana. “sreeekkk....” dengan mengendap, mungkin takut dipergoki orang, sosok itu segera duduk di depan meja belajarku, sedangkan aku yang sedang bersandar di tepian tempat tidur hanya bisa tertegun.”Ah, itu adikku, ada apa dia di kamarku?” aku membatin.

Dia bersila di sana, menghela nafas sebentar, dan mulai mengeluarkan sepatah kata pembuka “Mas, aku meh cerito”. Jantungku mendadak langsung berdetak kencang, entah apa yang terjadi padaku saat itu, aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ada orang yang selama ini tinggal bersama denganku, sekarang duduk di depanku, dan mau bercerita, harusnya ini bukan merupakan hal yang aneh dan luar biasa. Tapi bagiku saat itu, ini adalah yang kejadian yang melebihi luar biasa, aku nggak tahu apakah ada kata-kata yang bisa menggambarkan. Ya, saya terlalu gembira mungkin saat itu!

Aku menegakkan posisi dudukku dan berbicara “Piye...piye..ono opo le?” Lalu dia pun mulai bercerita panjang lebar tentang masalah yang sedang dialami dengan pacarnya. Aku pun menyimak setiap perkataan yang terucap dari mulutnya berusaha merangkai dan membayangkan berbagai macam kejadian yang ada. Menyusunnya sehingga menjadi sebuah cerita yang utuh dan tentu saja bisa saya beri respon yang sesuai dengan harapannya. Sekitar 20 menit kami saling berdiskusi tentang apa yang harus dia lakukan selanjutnya, mungkin tidak ada solusi yang cukup bagus untuk masalahnya tersebut, tapi paling tidak aku sudah berusaha sebisaku. Dia pun beranjak dari tempat duduknya, masih dengan muka bingung. Aku hanya tertegun di sini, menahan agar tidak terlalu terlihat gembira. Padahal semua organ tubuhku mungkin sudah mengalami reaksi yang berlebihan gara-gara kejadian barusan. Ya, adikku curhat. Adikku curhat denganku. Wow!

-----ii-----

Mungkin bagi kalian apa yang saya ceritakan barusan tidaklah terlalu menarik untuk disimak. Tapi bagi saya yang sepanjang hidup di dunia ini tidak pernah merasakan kehadiran seorang saudara di dalam hati. Hal ini menjadi sebuah keajaiban yang tidak pernah bisa terkatakan.Ya, saya memang dilahirkan dalam sebuah keluarga yang damai, tidak pernah ada ribut-ribut yang berarti, sangat damai, bahkan boleh dibilang seharusnya saya tidak mempunyai komplain apapun terhadap kondisi ini.

Tapi kehangatan sebuah keluarga tidak pernah saya rasakan sampai umur saya menginjak 20 tahun. Entah apa yang terjadi di umur itu, segalanya tampak begitu baik di mata saya. Semuanya tampak berbalik 180 derajat. Segala yang menjadi ideologi saya di umur-umur sebelumnya tampak begitu buruk dan tidak berarti. Sebuah antiklimaks dari keyakinan yang selama ini saya perjuangkan. Ada banyak hal yang selama ini hidup dalam pikiran saya ternyata berdampak buruk bagi orang-orang di sekeliling saya. Satu hal yang membikin saya merasa jauh dari keluarga adalah sikap yang terlalu egois. Sikap ini membuat saya menjadi orang yang apatis dan tidak mau peduli dengan lingkungan. Lebih lanjut lagi, sikap ini membuatku menjadi seseorang yang tidak peka. Alhasil, saya jadi tidak pernah memperhatikan orang lain. Suatu efek domino yang dihasilkan dari sebuah sikap yang dibangun semenjak muda.

Ya, saya baru menyadari bahwa sikap ini merupakan sikap yang salah baru ketika saya berumur 20 tahun. Saya lupa kejadian apa yang menyebabkan saya tersadar akan kesalahan yang sudah saya buat selama ini. Lupa akan titik baliknya. Tapi kesadaran yang bisa dibilang terlambat ini membuahkan efek yang luar biasa dalam hidup saya. Lambat laun saya menjadi orang yang sangat tenang, mulai suka memperhatikan orang lain, bertambah bijak, dan bisa mengendalikan diri saya sedemikian rupa. Walaupun terkadang, saya masih sering lepas kontrol ketika saya sedang malas mengendalikan diri. Tidak bisa dijadikan pembenaran juga sebetulnya. Perubahan demi perubahan baik yang saya alami ini secara tidak langsung membuat saya peka terhadap keadaan lingkungan, terlebih lingkungan rumah.

Ibu dan bapak saya adalah dua orang teladan yang sangat saya kagumi. Mereka tidak menggurui saya dengan berbagai macam kata-kata bijak yang membuat saya muak. Mereka mengajar saya dengan hal yang paling sederhana, ya mereka MELAKUKAN hal-hal baik di depan saya. Dulu sih, aku tidak terlalu sadar apa yang mereka selalu lakukan. Akhirnya (mungkin) karena aku terlalu tidak peduli, mereka pun ngomong blak-blakan tentang apa yang selama ini mereka lihat tentang saya. Sejak itu, aku terus berpikir tentang apa yang mereka katakan. Dan aku membenarkan segala yang mereka katakan tentangku. Ya, inilah sebuah proses yang memang harus kujalani. Mungkin kehidupan 20 tahun itu adalah cermin yang harus aku lihat setiap saat sehingga aku tidak kembali ke kesalahan yang sama.

Perubahan-perubahan itulah yang akhirnya menggiring perasaan saya untuk bisa menjadi kakak yang baik bagi adikku satu-satunya. Sekarang dia sudah kuliah tahun kedua, saya tidak pernah ngobrol dengan dia sebelum malam itu. Entahlah, dulu ada ego yang sangat besar dari diriku. Bahkan untuk sekedar menyapa pun enggan, kami seperti hidup di dalam dunia sendiri-sendiri. Makanya kehidupan di rumah menjadi sangat dingin, tidak pernah ada gelak tawa yang selalu tiap malam aku impikan. Ya, aku lama kelamaan tersadar bahwa kondisi itu tidak akan terjadi dengan sendirinya. Harus ada yang memulai untuk melakukan perubahan dalam situasi yang kalau dibiarkan menjadi semakin mengacaukan. Ego yang semakin bisa dikendalikan memungkinkan saya untuk bisa melakukan manuver-manuver jitu di rumah. Berkat bantuan Tuhan, kondisi rumah selama setahun ini sangat baik dan saudara-saudara yang berkunjung pun merasakan hal yang berbeda. Dulunya kami berdua tidak begitu akrab dengan bapak-ibu, sekarang kami berdua akrab dan kami juga akrab dengan bapak-ibu. Pergolakan yang selama ini terjadi tampaknyan tidak terbuang percuma. Tapi terendap menjadi pelajaran berharga bagaimana mengarungi kehidupan sebagai sebuah keluarga.

Sebenarnya, stimulus untuk menjadi seorang kakak yang baik sudah ada sejak saya dekat dengan Pipin. Ya, Pipin adalah tipe adik yang baik, yang sangat perhatian dengan kakakknya (aku.red). Karena dia seorang perempuan dan aku tidak pernah punya adik perempuan, maka kerinduan-kerinduan untuk menjadi seorang kakak yang melindungi, bijak, dan selalu ada bila adiknya ada kesulitan pun muncul di benakku. Entah, mungkin orang ini malaikat kiriman Tuhan yang sengaja didatangkan untuk merubah hidupku yang buruk menjadi lebih baik dan bermakna bagi orang lain. Dari dia jugalah aku belajar untuk sabar, mau memperhatikan orang lain, dan berbagai macam hal baik yang dia perlihatkan kepadaku. Semakin aku dekat dengan dia, mungkin akan banyak hal buruk dalam diriku yang enyah tak berbekas. Dia juga satu-satunya orang yang bisa menenangkanku ketika aku sedang gelisah.

Aku malu karena begitu banyak hal baik yang dia berikan kepadaku. Tapi aku tidak pernah sekalipun bisa memberikan kebaikan kepadanya. Ah, ironis sekali. Aku tidak tau juga apa yang bisa kuperbuat untuk membalas Pipin. Tapi paling tidak di dalam hatiku, aku sudah membulatkan sebuah tekad kuat. Aku mau menjadi seorang “Pipin” bagi adikku. Ya, aku hanya ingin belajar bagaimana menjadi seorang kakak yang baik.

Rabu, 05 Agustus 2009

Apakah takut ber-Tuhan?

Pagi ini masih liburan semester. Rasa malas belum mau beranjak dari pikiran. Dan parahnya lagi aku tidak bisa mengeyahkan itu, membuangnya, kemudian melakukan hal yang lebih berguna. Padahal di meja belajarku ada bermacam-macam buku yang belum sempat aku baca, ada buku EKG, ada kumpulan koran yang sengaja aku pilih untuk kubaca-baca lagi. Aku pingin menjadi orang yang segala tahu, maksudnya bukan untuk sombong bahwa aku ingin tahu semua hal di dunia ini. Sebuah keinginan yang sangat tidak mungkin terkait dengan keterbatasanku sebagai seorang manusia. Yah, paling tidak aku menjadi orang yang berwawasan luas yang bisa diajak ngobrol tentang apapun dan yang paling aku harapkan adalah aku bisa menceritakan kepada orang lain hal-hal yang pernah aku baca atau aku lihat. Ya, hanya semangat untuk berbagilah yang mendasari itu semua. Tidak ada maksud lain, tidak ada sesuatu yang terselubung. Tampaknya aku harus memperkuat niatku ini. Aku yakin aku mampu ketika aku mau.

Pagi ini akhirnya aku membuka facebook setelah sekian lama aku memendam diri untuk tidak membuka situs pertemanan itu. Ya, semakin lama tidak ada aktivitas yang cukup dinamis untuk bisa meningkatkan warna-warni harimu. Hanya seperti itu saja, komen-komenan, maen games, dan semakin lama makin membosankan karena tidak ada yang bisa dilakukan lebih daripada itu. Akhrinya, seminggu ini saya berusaha untuk tidak membuka facebook, ternyata tidak cukup hebat untuk bisa mencandui saya. Di facebook saya bertemu dengan adik yang sangat saya sayangi, yaitu si Pipin. Seorang wanita, adik kelas, yang telah berhasil “menobatkan” saya walau hanya sedikit, tapi paling tidak saya bertobat sedikit daripada tidak sama sekali. Semenjak dekat dengan dia, saya menjadi “agak lebih” rajin berdoa. Walaupun masih bolong-bolong juga, tapi paling tidak saya mempunya kerinduan untuk dekat dengan Tuhan. Sebuah resolusi yang bahkan tidak pernah saya cantumkan di daftar kertas saya untuk tahun ini. Entahlah mungkin Tuhan mengirimnya untuk memberi tahu aku bahwa aku sudah harus kembali pada-Nya. Pipin yang sangat “suci” ,menurut penilaianku, paling tidak berhasil mempengaruhiku secara tidak langsung untuk rajin berdoa, karena kalau ketemu dia pasti bawaannya ngajak berdoa bersama. Apa boleh buat saya ikut saja apa yang dia mau. Toh setelah dijalani selama ini, ternyata berdoa yang dulu adalah aktivitas yang membosankan, akhir-akhir ini menjadi aktivitas yang cukup menyenangkan, (lagi-lagi) paling tidak sudah ada dorongan yang cukup kuat di otak saya untuk bisa berdoa dan ingat Tuhan setiap saat. Memang sih, tidak bisa dipungkiri bahwa kadang otak tidak bisa cukup kuat untuk mempengaruhi seluruh pergerakan tubuhku ini. Jadi sering, keinginan itu hanya ndongkrok di pikiran tanpa pernah terealisasi.

Kembali soal hari ini, dalam chattingan yang melibatkan saya dan Pipin, tiba-tiba dia mengajak saya untuk ikut dalam komsel. “Emang komsel apaan pin?” saya bertanya dengan sedikit heran. “KTM alias Komunitas Tri Tunggal Mahakudus mas”. Walah..pikiran saya pun langsung tidak sanggup lagi untuk berpikir, mau direset berulang kali pun kayanya nggak bisa lagi, kalo ibaratnya maen PS mending diremukke wae PS-nya, njuk beli X-box. Entah apa yang terjadi dengan saya ketika Pipin mengajak saya untuk bergabung ke komunitas itu. Ada beban berat yang langsung menindih pundakku ketika mendengar nama komunitas. Bayangku pun menerawang dan berusaha untuk mereka-reka apa yang akan aku alami di sana. Pendalaman kitab suci, sharing iman, dan diskusi-diskusi yang pasti akan sangat membuat aku “ketakutan”. Ya, ketakutan yang tidak beralasan mungkin, karena toh aku belum pernah mencoba mengikuti. Ketakutan ini muncul karena aku menganggap diriku tidak pantas berada di sana, berbaur dengan orang-orang yang sudah ahli dalam hal-hal ke-Tuhan-an atau paling tidak mempunyai pengalaman bergumul dengan Tuhan. Sedangkan aku sendiri adalah anak muda yang sangat sering bercengkrama dengan setan dalam berbagai macam kegiatannya. Masih pantaskah aku untuk berada di tengah-tengah orang seperti mereka? Ya, ada banyak ketakutan yang membuncah mendadak di pikiran tidak bisa ditanggulangi lagi.

Aku pernah merasakan perasaan yang sama pada saat aku akan masuk kedokteran. Saat itu aku bercerita dengan ibu salah seorang temanku, bahwa aku menjadi sangat takut karena pasti di kedokteran akan ada banyak orang-orang pintar yang tidak mampu aku saingi. Ya, aku saat itu memang tidak tertarik untuk masuk ke kedokteran, semuanya terjadi karena memang sudah takdir yang menginginkan itu terjadi. Jadi aku sama sekali tidak punya bekal yang cukup untuk bisa bertahan di sana. Tapi, sampai saat ini aku masih bertahan sebagai mahasiswa tingkat 4 di jurusan itu, sebuah prestasi yang bagiku sangat membanggakan, aku tidak harus keluar dan mencari jurusan lain selain jurusan yang telah dipilihkan “ALAM” kepadaku. Situasi inilah yang terjadi lagi pagi hari ini, sudah kalah perang padahal aku belum maju ke medan perang itu. Aku selalu membayangkan bahwa aku akan mengalami kesulitan yang besar ketika aku berada di situasi yang aku bayangkan tidak bisa aku kuasai. Ya, mungkin memang akan ada kesulitan yang akan aku temui, tapi toh Tuhan sendiri bicara bahwa Dia tidak akan memberikan cobaan yang tidak akan bisa kita tangani. Dengan kata lain, kita pasti lebih kuat dan lebih hebat dari segala macam kesulitan yang akan kita hadapi. Cuma mungkin dunia mendidik kita bagaimana kita menyadari bahwa kita kuat dengan memberikan cobaan atau kesulitan yang memang harus kita lewati. Aku sadar bahwa kalau aku terus menerus terjebak pada pikiranku sendiri dan menjadi orang yang tidak berani mengambil risiko untuk kemajuan pribadi, tentu aku akan menjadi orang yang biasa-biasa saja. Terjebak dalam kenyamanan semu yang mungkin malah membuatmu berjalan di tempat.

Ya, pengalaman hari ini mengajarkanku bahwa aku tidak boleh takut menghadapi apapun yang ada di dunia karena aku yakin bahwa Tuhan akan selalu memampukan manusia dalam melewati setiap kesulitan yang akan menerpa. Seberat apapun itu, sekeras apapun itu, pasti aku akan bisa melewatinya. Tuhan selalu ada di sampingku ketika aku jatuh, untuk menarik kedua tanganku, Tuhan akan ada di belakangku untuk mendorongku maju ke depan, dan tentu saja Tuhan akan berada di depan untuk menuntun dan menunjukkan jalan yang benar kepada kita. So, jangan pernah takut akan apapun, takutlah pada satu hal: TUHAN.