Rabu, 05 Mei 2010

Dahi Elit

Pagi ini saya iseng-iseng baca femina, di salah satu kolomnya ada informasi tentang dahi. Sejurus pikiran saya pun teringat dengan seorang teman yang punya dahi lebar, sebut saja namanya Ti***.Sejak tahun pertama dahi itulah yang menjadi incaran ejekan kami. Soalnya dahinya lebar, rambutnya pendek, dan kalau dia memakai rambut model poni akan jelek sekali kelihatannya. Alhasil, dia dengan sangat sukarela (atau malah terpaksa ya?) membiarkan dahinya yang lebar dan jembar itu diberi nama-nama yang rodo kurang ajar mulai jinong (jidat nonong), jimbar (jidat jembar), maupun julukan-julukan lain.

Tapi, apa yang ditulis kolom femina tersebut ttg fakta yang tersembunyi di balik sebuah dahi? Ternyata, pada zaman Ratu Elizabeth I, wanita yang berdahi lebar menandakan status sosial seorang wanita di kalangan socialite atau bangsawan. Selain itu, dahi lebar juga jadi tolak ukur cantik tidaknya paras seorang wanita. Sampai-sampai para wanita yang berdahi sempit, rela mencukur anak rambut mereka lebih dalam, agar dahinya terlihat lebih lebar.

Hmmm...ternyata di balik sesuatu yang kita kira sebuah kekurangan, di masa sekarang, di masa lalu kekurangan itu merupakan sebuah hal yang sangat dihargai yaaa...

*postingan iseng-iseng...

Senin, 26 April 2010

Ah, mbok sudah jalani saja!

Kata ini tiba-tiba mencuat dalam benak saya ketika saya berada dalam situasi kericuhan siang tadi di Poliklinik Mata. Bukan situasi rusuh macam perang antara satpol PP ama warga Koja, bukan juga perang gusur-gusuran antara satpol PP dan cina benteng di Tangerang. Bukan kok, ini cuma kejadian sederhana yang agak menganggu pikiran saya. Markimul a.k.a mari kita mulai (jadul bo!)


Hari ini saya dan teman-teman berjaga lagi di Poli Mata RSUP Dr. Sardjito setelah seminggu ini kami tercerai berai. Ada yang ke RS YAP, ada yang ke Banyumas (banyak cerita seru tentang Banyumas, intrik, konflik, lengkap!), ada yang pergi ke Cilacap tapi dideportasi dengan paksa gara-gara dokternya mendadak pergi ke Jakarta, tapi ada juga yang berjuang di rumah sakit jejaring macam Klaten, Wonosari, Bantul, Sleman, dan juga Wates. Setelah seminggu terpisah rasanya senang sekali berkumpul lagi dengan teman-teman yang menginjak minggu ke-4 mulai kelihatan anehnya, lucunya, katroknya, ndesonya, dan berbagai macam –nya, –nya, –nya yang laen. Kami menjalankan aktivitas poli seperti biasa, berbagi tugas dan melakukan pemeriksaan di subdivisi yang ada di poli tersebut. Sudah 2 minggu kami melakukan berbagai macam pemeriksaan wajib di subdivisi masing-masing, ada yang sudah faseh sampai terkadang bosan melakukannya, ada yang masih penasaran gara-gara belum bisa liat papil, pokoknya campur bawurlah.


Nah, selain masalah jaga dan bla..bla..bla..nya itu, hari ini kami juga akan mengundi dosen penguji untuk ujian akhir di stase kami. Ada beberapa orang yang sangat antusias untuk mengetahui siapa dosennya sehingga mengingatkan saya untuk memberitahu chief resident-nya untuk menetapkan waktu undian. Akhirnya waktu yang dinanti-nanti pun tiba, tepat setengah jam setelah tengah hari kami berkumpul di ruang refraksi untuk mengundi dosen penguji. Kertas-kertas kecil sudah disiapkan sebanyak 13 buah, lalu ditulis nama-nama dosen oleh chief residen. Kami semua berancang-ancang untuk mengambil kertas tersebut (sakjane yo rodo lebay sih, mergane kan mesti enthuk siji-siji khan, haha..anak muda...) Dan seketika itu pula, kertas-kertas itu sudah hilang dari telapak tangan si chief residen.


Seketika itu pula, kami semua bebarengan membuka lipatan-lipatan kertas yang menentukan masa depan kami selanjutnya. Saya melihat ada beberapa perubahan mimik muka. Ada yang puas, gelo, gerah, biasa-biasa aja, ada yang langsung kelihatan susah, ada yang teriak-teriak. Ya, semuanya seperti menyuarakan isi hati mereka. Yang kelihatan susah mungkin mendapatkan dosen penguji yang cukup berat, yang kelihatan senang mungkin mendapatkan dosen penguji yang cukup enak, yang biasa-biasa saja mungkin berpikir bahwa siapa pun pengujinya yo sama saja. Saya termasuk yang biasa-biasa saja.


Ini adalah ujian pertama kami di rotasi klinik, seperti biasa kalau mau ujian, kami sebelumnya sudah tanya-tanya kepada kakak kelas, bagaimana rasanya ujian dengan dosen-dosen tersebut. Sebagian nama dosen yang disebut kalau ujian susahlah yang kemudian membuat beberapa orang tampak menderita. Mungkin di benak mereka sudah terpatri kuat bahwa kalau ujian dengan dosen tersebut ya paling-paling seperti informasi yang sudah didapatkan. Padahal menurut saya ada banyak hal yang bisa menyebabkan kondisi-kondisi mengenakkan ataupun tidak mengenakkan pada waktu ujian.


Saya bertanya pada diri saya sendiri, kenapa saya kok biasa-biasa saja? Mungkin karena saya mendapatkan dosen yang cukup santai ketika memberi ujian. Tapi dalam benak saya, pengundian ujian itu adalah faktor yang tidak bisa kita kendalikan sama sekali atau lebih tepatnya bisa saya katakan sebagai keberuntungan belaka. Mau kita ngambil kertasnya duluan, belakangan, lebih cepet dari yang lain, ataupun bla..bla..bla..yang lain kita tetep nggak bakal tahu siapa dosen yang tertulis di kertas tersebut. Yaa...semuanya terserah alam saja yang mengatur, manut-manut waelah. Reaksi beberapa orang teman saya kira wajar karena informasi-informasi yang mereka dapatkan plus sedikitnya pengalaman yang didapat untuk menghadapi dosen-dosen tersebut.


Saya berpikir dan saya menyadari kalau kita diprediksi mendapatkan sebuah kesulitan tertentu, reaksi pertama yang muncul adalah mengeluh. Itu sudah hukum alam. Nek ada manusia yang nggak mengeluh berarti yo kuwi wis tingkat dewo berarti. Tapi terkadang kita suka terjebak pada hal-hal negatif yang sudah kita bayangkan akan terjadi di depan kita. Bahwa ini akan seperti itu, itu akan seperti ini, bahwa ini akan seperti ini, dan ini-itu serta ini-ini yang lain. Padahal siapa juga yang tahu apa yang akan terjadi di depan. Siapa tahu dosen yang biasanya galak, tapi pas kita ujian baru dapet undian 2 milyar, njuk kita langsung lulus tanpa susah payah, atau dosen yang biasanya santai tapi rumahnya baru saja kemalingan, njuk kita malah jadi sansak kemarahan, siapa juga yang tahu. Sama sekali nggak ada yang tahu.


Hidup itu tidak pasti dan kita sering takut untuk menghadapi ketidakpastian yang ada di depan kita. Yang bisa kita lakukan adalah mereka-reka sendiri ketidakpastian-ketidakpastian tersebut dalam bentuk kepastian-kepastian yang kadang malah membuat kita takut atau lengah. Sering karena dosennya galak atau ujiannya susah, orang malah nggak belajar karena menurutnya sama saja belajar atau enggak toh nanti juga akan ada tugas tambahan dari dosennya, juga bisa lengah karena katanya dosennya baik sehingga nggak belajar dengan maksimal.


Apa yang mau saya share di sini? Bahwa semua ketidakpastian itu adalah hal yang paling pasti dalam hidup. Hanya itu satu-satunya dalam hidup yang pasti kecuali mati tentunya. Ketika kita sadar bahwa semuanya tidak pasti berarti semuanya mungkin terjadi. Yang bisa kita lakukan untuk menghadapi ketidakpastian adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi hal itu. Belajar semaksimal mungkin yang kita bisa. Bertanya sekritis mungkin pada orang yang bisa ditanya. Pokoknya kita harus melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk bisa menghadapi situasi itu. Sehingga apa pun kondisinya yang akan menimpa, kita sudah siap. Ubah mindset kesulitan sebagai sebuah tantangan. Dan sadari saja kalau kita sudah mampu melewati tantangan tersebut berarti kita sudah naik level dalam tataran manusia. Pada intinya adalah berusahalah sebaik mungkin, sisanya serahkan saja pada alam, biar mereka yang mengaturnya.


Selamat ujian teman-teman! Ujian pertama harus berhasil, yeiy! Sing semangat!

Sabtu, 24 April 2010

Keluargasing!

Saat ini aku sedang melihat Oprah, salah satu talkshow yang menampilkan beberapa narasumber untuk diwawancarai, tapi kadang dia juga membuat program-program yang berhubungan dengan kondisi sosial, tentunya yang relevan dengan kondisi masyarakat di Amerika. Mirip dengan acara Kick Andy yang sangat digemari di negeri kita tercinta ini. Sebuah acara yang memunculkan banyak insipirasi bagi kehidupan manusia ke depannya. Kadang-kadang kita dipaksa untuk merekonstruksi lagi perjalanan hidup yang telah kita lalui. Dengan melihat bahwa orang lain sudah berbuat sesuatu bagi orang lain lagi yang kesulitan, rasa malu pun membuncah. Terjadi refleksi yang mencuat dalam diri dan berikrar bahwa suatu hari nanti pasti aku akan melakukan hal-hal tersebut. Tapi kata bapak, kita nggak akan mungkin melakukan hal-hal besar tanpa kita terbiasa melakukan hal-hal kecil terlebih dahulu. Mungkin memang tidak usah terlalu muluk harus berbuat sesuatu yang besar bagi duniamu, buatlah dulu orang-orang di sekitarmu merasakan kehadiranmu sebagai sesuatu yang mencerahkan, memberikan inspirasi, dan bukan malah sebaliknya.

Kembali ke acara tivi tersebut, Oprah memberikan tantangan pada dua keluarga yang berjudul “What can you live without?” Pada intinya, tantangan ini berupa pengambilan sejumlah barang yang terbiasa digunakan oleh kedua keluarga tersebut. Barang-barang yang diambil adalah gagdet yang biasa mereka pakai, misalnya tivi, komputer, xbox, ataupun ponsel. Barang-barang itu disita selama seminggu. Apa yang terjadi dalam kehidupan mereka? Bisa dikatakan kalau kehidupan mereka adalah kehidupan keluarga modern jaman sekarang ini. Mereka terlalu sibuk dengan barang-barang berteknologi yang mereka punya. Si bapak sibuk dengan acara nonton tivinya, si ibu sibuk dengan laptop dan telepon dari teman-temannya membicarakan tentang salah satu miniseri di tivi, si adik sibuk dengan xboxnya, dan si kakak sibuk dengan laptop, ipod, dan telepon berisi gosip dari teman-temannya. Itulah yang sehari-hari dilakukan sehingga tegur sapa, diskusi, bahkan saling tanya kabar pun jarang terjadi di keluarga mereka. Semuanya menjadi asing satu sama lain, bahkan anak mereka merasa aneh dan canggung ketika harus berinteraksi dengan orangtua ataupun adik mereka. Bahkan si ibu pun menyuruh anakknya untuk mencuci pakaian atau mengambilkan dia segelas minuman lewat sms, hanya karena dia tidak mau meninggalkan laptopnya. Singkatnya adalah mereka seperti tidak mengenal siapa keluarga mereka, siapa anak mereka, siapa orangtua mereka. Keterasingan di rumah sendiri. Sungguh aneh!

Mari bertanya sejenak? Apakah kondisi di rumahku sama seperti apa yang aku lihat di layar tivi sana? Aku dengan sangat yakin menjawab ”YES”. Rumahku tidak lebih dari rumah singgah biasa. Sebuah tempat dimana saya tidur, makan, belajar, dan berbagai macam hal lain yang bisa saya lakukan di rumah ini. Tapi beberapa tahun ini saya merasa bahwa saya hidup sendiri di rumah ini. Tidak ada lagi interaksi yang aku rasakan dulu sewaktu kecil. Tidak ada lagi kumpul-kumpul keluarga dan berbincang tentang sesuatu hal. Kondisi di sekolah, tempat kerja, atau lingkungan sekitar. Bapak, ibu, aku dan Indra sibuk dengan berbagai macam kegiatan yang membuat kami sering tidak berinteraksi satu sama lain.Paling-paling hanya ada tegur sapa selamat pagi atau selamat sore plus satu pelukan hangat. Itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

Situasi ini membuatku merasa canggung dengan orang-orang yang ada di rumah. Aku merasa aneh ketika berbincang dengan adikku, aku merasa sering emosi ketika berbicara dengan ibuku, ataupun aku hanya diam saja membiarkan bapakku sibuk dengan pekerjaannya sendiri, padahal aku tahu bahwa beliau adalah orang yang sangat asik kalo diajak ngobrol. Pernah aku mengetahui bahwa adikku ternyata sedang sakit dari status yang dia pasang di facebook. Ironi sekali bukan. Satu rumah. Satu atap. Kamar cuma sebelahan tapi aku tau kondisi anggota keluargaku dari situs jejaring sosial. Situasi ini beberapa kali aku keluhkan pada tante atau om ku, beberapa kali pula aku mendapatkan jawaban bahwa situasi ini tidak mungkin dirubah karena kondisilah yang memaksa kita menjadi keluarga yang seperti ini. Tapi ternyata acara di tivi itu menyadarkanku bahwa kita sama sekali tidak boleh menyerah kalah dengan keadaan, kitalah yang seharusnya menjadi penguasa bagi keadaan kita. Hakekatnya adalah ketika kita bertemu dengan sebuah keadaan yang kadang tidak mengenakkan, kitalah yang mempunyai pilihan untuk bisa berbuat sesuatu dalam keadaan seperti itu, bukan keadaan yang memaksa kita untuk menjadi tidak berdaya.

Aku tidak bisa menyalahkan bahwa kami memang punya kesibukan masing-masing. Bapak masih nglaju Jogja-Purworejo untuk mengajar. Indra juga kuliah, pacaran dan punya kesibukan dengan klub motornya. Sedangkan, ibu sekarang sedang sekolah di Jakarta, jadinya hanya punya waktu sekitar 4 hari di Jogja dengan waktu di rumah mungkin kurang dari 12 jam untuk berinteraksi dengan kami. Aku dari kemarin banyak menuntut ibu untuk tidak terlalu sibuk dan memperhatikan anak-anaknya. Keluh kesah yang keluar dari mulutku karena sedari kecil aku selalu ditinggal oleh ibuku dan merasa tidak diperhatikan. Begitu pula dengan adikku. Malahan adikku melewati fase pergolakan yang lebih berdinamika daripada aku, sehingga dulu hampir membuat ibu dan bapakk stres. Aku terlalu fokus menuntut pada orang lain sehingga lupa untuk menuntut diri sendiri. Padahal dari dulu aku selalu berprinsip bahwa bukan orang lain yang bisa kamu kendalikan tapi yang bisa kendalikan hanyalah kamu sendiri. Aku lupa kalau aku terlalu sering menggerutu terhadap keadaan yang aku alami selama ini. Aku lupa kalau aku seharusnya bisa membuat keluargaku ini menjadi lebih kompak lagi. Saling memperhatikan, saling menghargai, saling bertanya kabar, dan beragam “saling” yang lain yang menunjukkan adanya suatu interaksi yang berkelanjutan sebagai sebuah keluarga.

Aku rindu untuk berkumpul dengan mereka. Bahkan sekedar ngobrol bersama di meja makan pun sudah cukup untukku. Aku rindu dengan pelukan hangat dari bapakku. Aku rindu dengan ciuman sayang dari ibuku. Aku rindu maen bilyard dengan adiku. Aku rindu dengan semua itu. Tapi apakah aku hanya akan meninggalkan ini dalam kerinduan semata tanpa berbuat apa-apa?

Aku tidak terlalu muluk untuk bisa memperbaiki keadaan ini dengan kemajuan yang signifikan. Tapi paling tidak aku sadar bahwa aku masih punya keluarga yang perlu diperhatikan. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga dan untuk orang-orang di sekitarmu. Mari menyadari dan berubah bersama!

Refleksi: coba tanyakan pada diri kalian sendiri, bagaimana kondisi keluarga kalian dan apa yang sudah kalian lakukan untuk keluargamu.

Nyinyir!

Membaca judul di atas pasti anda akan langsung berimajinasi tentang perilaku seseorang yang menyindir perilaku orang lain yang menurut pandangannya tidak pantas untuk dilakukan. Mungkin ada pernah berhadapan dengan orang-orang dengan perilaku nyinyir baik di tempat anda kerja, tempat anda sekolah, pada saat arisan kampung, bahkan pada saat anda ke gereja pun, anda bisa jadi korban perilaku nyinyir orang lain. Atau jangan-jangan anda memang tidak pernah jadi korban karena anda lebih sering berperan sebagai pelaku utama?

Kenapa saya mengambil topik ini sebagai topik cerita saya malam ini? Tidak lain dan tidak bukan karena saya baru saja bersentuhan dengan perilaku ini. Kali ini bukan menjadi korban, tetapi sebagai pelaku utama. Gundul tenan. Yang paling aneh adalah korban saya kali ini bukanlah orang dewasa yang serta merta bertingkah laku ganjil, tidak pantas, atau pernah merugikan saya baik secara moril maupun materiil. Tapi korban saya kali ini adalah seorang anak kecil yang semenjak dia bayi sudah tinggal di rumah saya. Ya, dia adalah ALIF. Seorang anak hasil pergumulan tubuh antara Samsudin dan Lestari yang sehari-hari bekerja membantu kami di rumah. Kenapa juga bisa anak sekecil itu jadi korban kelakuan emosionalku yang sangat tidak beralasan siang itu? Entah juga.

Kejadian yang bagi saya merupakan anomali perilaku ini terjadi siang tadi. Bayangkan saja settingnya ada di rumah yang baru saja selesai direnovasi, ada pintu depan yang langsung berhubungan dengan garasi, lalu ada sofa tempat yang biasanya dipake buat nerima tamu tapi kalau malem saya sulap jadi gudang iler, terus ada sofa malas di depan tivi, ada tivi yang sedang menyala dan menampilkan adegan anak-anak. Si objek penderita sedang memegang remote dan menonton acara anak-anak tersebut. Sedangkan saya yang kali ini berperan sebagai subyek penyiksa baru saja bangun tidur. (Malas sekali saya ini). Lalu saya pun, berjalan keluar masih dengan mata mengantuk, ke arah meja makan, membuka tudung saji, dan melihat menu makanan yang ada di sana. Selera makan tidak begitu bagus siang tadi, tapi karena baru makan bubur kacang ijo tadi pagi, akhirnya saya mengambil nasi dan makan makanan yang ada di meja makan.

Saya menuju ke arah tivi, duduk di sana, dan mulai menikmati acara tivi yang disetel oleh Alif. Sambil menikmati makanan, saya pun berpikir tentang obrolan saya dengan Neni beberapa saat yang lalu tentang hamster, lalu serta merta saya menanyakan pada Alif ”Lif, hamstermu kae isih thok openi ra?” Dia pun menjawab ”Embuh, takon wae bapakku mas.” Entah kenapa mendengar jawaban Alif seperti itu, aku menjadi naik darah seketika. Langsung saja beberapa kalimat bernada menyindir saya lontarkan kepadanya, dengan intonasi yang cukup pedas. Mulai dari kenapa dia nggak merawat hamsternya sampai kalimat-kalimat bernada nggak enak lainnya yang spontan keluar dari mulut saya. Apalagi pada saat dia bilang ”Nek kelinci mesti tak pelihara mas” Aku cuma bilang satu kalimat ke dia ”Halah paling-paling yo mati meneh, kono melihara barong sai wae!”

Ya ampun, sampai malam ini aku menuliskan ini, aku masih nggak percaya bahwa aku bisa berkata dan merespon kelakuan Alif sampai sebegitu parahnya. Padahal dia itu masih kelas 2 SD dan nggak tahu apa yang dia lakukan. Gila. Parah juga menurutku. Mungkin karena hamster itu khusus aku belikan buat dia di pasar Ngasem. Dia kan beberapa waktu yang lalu kesengsem banget sama yang namanya hamster, jadinya aku berinisiatif untuk membeli sepasang hamster. Nggak mahal juga sih harganya, Cuma 15 ribu. Makanya aku jadi bingung kenapa kok aku bisa jadi sebegitu nyinyirnya dengan si Alif.

Aku mencoba menelaah apa yang terjadi dengan pikiran dan perasaanku siang tadi. Begitu mendengar bahwa dia nggak lagi ngurusin hamsternya adalah jerih payahku nggak dihargai oleh Alif. Padahal aku sudah dengan tulus hati dan niat yang ikhlas membelikan dia hamster itu karena aku tau dia pasti akan suka dengan itu. Tapi begitu mendengar bahwa apa yang lakukan ternyata tidak direspon dengan sesuatu yang aku harapkan akan terjadi. Aku menjadi teriritasi dan panas mendadak, walaupun hal itu dilakukan oleh seorang anak kecil yang tidak tahu apa yang dia perbuat itu. Aku jadi berpikir, apakah ketika kita sudah berniat dengan tulus dan ikhlas tapi tidak mendapatkan atau melihat apa yang kita harapkan terjadi dengan pemberian kita, kita pantas untuk marah? Lha kalau kamu masih merasa bahwa kamu pantas untuk marah, ya berarti kamu nggak ikhlas dengan apa yang kamu berikan. Di sisi satunya kamu berkata bahwa kamu dengan rela hati memberi, tapi di sisi satunya lagi kamu masih berpamrih untuk apa yang kamu berikan. Yah, nggak seharusnya juga sih aku berpikiran seperti itu.

Tapi kejadian ini lalu mengingatkanku dengan keberingasan perilaku yang pernah aku miliki beberapa tahun lalu. Mungkin seharusnya orang-orang yang bersinggungan langsung dengan perilakuku pada saat itu, bisa saja menyindirku habis-habisan atas apa yang telah aku lakukan. Nyatanya aku juga tidak mendapatkan sesuatu yang bikin telinga gatal dan membuat aku harus pergi karena tidak tahan dengan omongan orang-orang itu. Ya, ibu dan bapakku adalah orang paling sabar. Mereka telah berhasil menahan diri sedemikian rupa untuk tidak marah besar kepada anaknya yang paling kurang ajar macam aku ini.

Banyak hal yang seharusnya bisa membuat mereka membabi buta melancarkan omongan-omongan pedas kepadaku. Misalnya saja dulu pas aku patah kaki, aku sengaja dibelikan tempat tidur yang tinggi oleh ibuku, karena beliau beranggapan bahwa tempat tidur yang tinggi akan memudahkan aku untuk bangun dan berdiri akibat keterbatasan gerakku. Tapi apa yang aku lakukan, seketika itu juga aku langsung marah besar pada ibuku karena tanpa ijin mengganti tempat tidur kesayanganku dengan tempat tidur itu. Aku pada saat itu sama sekali tidak tahu alasan ibuku membelikanku tempat tidur itu. Lainnya, saat bapakku memberikan hadiah ulang tahun berupa jam tangan dan sepatu sandal, kedua benda yang menunjukkan rasa sayang mereka pun sangat jarang aku pakai. Pernah mereka pada suatu hari bertanya kepadaku ”Win, kok sepatu sandalnya nggak pernah dipakai?” Dengan beribu jawaban ngeles tingkat tinggi aku pun mengatakan bahwa sepatu sandal itu rutin saya pakai, padahal ya itu cuma salah satu alasan yang muncul biar nggak ketahuan kalau aku nggak suka dengan model sepatu sandal itu. Ada banyak hal lain yang, mungkin saking banyaknya, aku jadi lupa bahwa aku juga telah mengecewakan kedua orang tuaku beribu-ribu kali. Jadi menyesal ketika aku mengingatnya!

Dari secuplik pengalaman dengan Alif tadi siang aku bisa menarik pengalaman yang begitu berharga. Bahwa dalama hari setiap orang pasti ada rasa ingin dihargai, ingin dihormati keberadaannya oleh orang lain, dan bermacam-macam keinginan yang bisa muncul ketika melakukan interaksi. Dan ketika orang lain tersebut tidak bisa melakukan apa yang kita harapkan dia akan lakukan, tentu akan menjadi sangat wajar ketika kita kecewa. Dalam kasus ini adalah walaupun tiap orang secara rela hati memberikan apa yang dia miliki pada orang lain dan membebaskan orang lain untuk memanfaatkan pemberiannya dengan sesuka hati, pasti ada seonggok harapan kecil di dalam hari bahwa apa yang dia beri akan berguna dalam hidupnya dan dia akan mengucapkan rasa terima kasih kepada yang memberi.

Ya, rasa terima kasih itulah pangkal dari semua permasalahan yang aku hadapi tadi siang. Aku merasa kalau Alif tidak berterima kasih terhadap hamster pemberianku. Rasa terima kasih tidaklah cukup hanya muncul di bibir saja, tetapi lebih daripada itu. Rasa terima kasih haruslah mampu diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Tanpa ada tindakan yang nyata maka ucapan terima kasih yang sudah terucap lewat bibir hanya akan terlewat belaka tanpa ada makna. Tanpa ada tindakan nyata maka secara tidak langsung kamu sudah menyianyiakan kasih orang lain kepadamu. Tanpa ada tindakan nyata berarti kamu telah menutup pintumu untuk menerima kasih-kasih dari orang lain di masa depan.

Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa penghargaan kita pada orang lain yang telah mengasihi kita, salah satunya adalah dengan membuat orang sadar bahwa kehadirannya, baik itu lewat perbuatan, perkataan, pemberian, berarti buat hidup kita seberapapun itu kecilnya. Hanya dengan cara itulah, orang lain bisa merasa dihargai keberadaannya.

Maka dari itu, jangan pernah marah ketika pemberianmu dicampakkan, tetapi jangan pernah kamu mencampakkan apa yang telah orang lain berikan kepadamu!

”Hargailah orang-orang yang menyayangimu, yang selalu ada, setia di sisimu. Siapapun jangan kau pernah sakiti dalam pencarian jati dirimu” (OST Sang Pemimpi)

Hidup Kembali

Setelah sekian lama blog ini tidak saya isi. Sekarang saya kembali dengan isi otak saya yang baru, nggak baru-baru banget sih, tapi paling enggak akan ada banyak hal baru yang saya kritisi.

Nggak akan nulis panjang-panjang nanti ada alasan nggak sempet nulis gara-gara nggak kebiasa nulis postingan pendek. Aahhh..emang dasarnya males aja!

Semoga bisa menikmati. Mari bersama belajar dan berkembang!