Jumat, 27 Juni 2014

Mari menertawakan perbedaan...

Dear Pak Jokowi,

Beberapa hari yang lalu,saya dikejutkan kabar bahwa rumah salah satu teman saya diserang oleh orang tidak dikenal saat sedang mengadakan Doa Rosario. Motif yang mengemuka pertama kali adalah soal agama. Tetapi kemudian belakangan,ditengarai motif penyerangan karena adanya perbedaan pilihan politik. Saya menjadi tidak habis pikir,sebegitu kolotkah Indonesia dalam menanggapi perbedaan? Apakah perbedaan kemudian menjadi justifikasi yang sahih untuk melakukan kekerasan? Apakah memang perbedaan secara perlahan menuntun kita untuk menumpulkan rasa kemanusiaan dan hati nurani kita? Tidakkah kita bisa menanggapi perbedaan dengan kelakar tanpa menyelipkan rasa benci di dalamnya?

Saya pikir mungkin ada yang salah dalam penanaman pola pikir terhadap keberagaman. Keberagaman (dlm cakupan yang lebih luas dibanding SARA, misal pemikiran,pilihan politik,pendapat) sering dianggap sebagai hal yang aneh,tidak lazim, bahkan ada yang menabukan. Kita akan cenderung mencerca dan menghakimi orang lain yang tidak sama dengan kita. Pola pikir ini menyebabkan kita tidak pernah sungguh-sungguh memahami toleransi dan menghargai perbedaan dalam keseharian kita.

Saya teringat pengalaman ketika SMP. Waktu itu saya bersekolah di sekolah negeri yang notabene mayoritas Muslim dan bersuku Jawa. Saya menjadi saksi bagaimana teman dekat saya di-bully selama hampir 3 tahun karena Tionghoa. Lebih parah lagi, ada oknum guru yang turut berlaku tidak adil gara-gara teman saya keturunan Tionghoa. Saya berpikir, sebegini sulitkah untuk menjadi berbeda di negara ini? Apakah kita akan selalu dipandang dan diperlakukan hanya berdasarkan agama atau suku?

Anggapan ini musnah ketika saya melanjutkan sekolah di SMA Kolese De Britto. Sekolah ini adalah tempat pertama kali saya belajar toleransi.Kami memang tidak pernah belajar teori omong kosong tentang toleransi, tetapi kami berhadapan langsung dengan pembelajaran atas toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Kami diperbolehkan berambut gondrong, boleh memakai baju bebas asal berkerah,boleh memakai sepatu sandal, dan boleh melakukan banyak hal asal disertai dengan kesadaran dan tanggung jawab. Kami dididik untuk selalu melakukan penghargaan atas esensi kemanusiaan,bukan melulu menilai berdasarkan pakaian yang dikenakan, status ekonomi, latar belakang, maupun tampilan fisik semata. Kami diajarkan untuk tidak mudah menilai seseorang hanya dari tampilan luar, terlalu superfisial. Kami menyadari sepenuhnya bahwa manusia terdiri dari nilai-nilai yang dibawa, dialami, diyakini dan dibangun bertahun-tahun. Kita baru bisa menilai secara obyektif ketika kita mampu meniadakan jarak sehingga muncul pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai yang digeluti seseorang. Kita pun akan menjadi lebih bijaksana dalam bersikap ketika kita mau melihat dan memahami perbedaan itu.

Di sekolah, kami juga hidup dalam dikotomi Jawa-Tionghoa. Ungkapan seperti "Woooo..dasar cino pelit" dan "woooo..dasar jowo kere" adalah ungkapan yang sering kali muncul dalam keseharian sekolah. Memang terdengar sangat tidak pantas dan sangat rasialis. Kami menyadari bahwa ungkapan tersebut muncul sebagai bentuk ekspresi keakraban dan respon interaksi pertemanan atas perbedaan yang muncul dalam keseharian kami. Kami menjadikan keunikan masing-masing ras sebagai bahan gojekan atau tertawaan kami sehari-hari. Sekalipun begitu, kami tidak pernah merasa tersinggung dengan ucapan seperti itu. Kami menyadari sepenuhnya bahwa ketika kami “mengejek”, tidak pernah ada sedikit pun keinginan untuk merendahkan atau melecehkan orang tersebut. Kami tidak akan membiarkan kebencian sekecil apapun terselip dalam setiap perkataan kami.

Suatu hari, salah seorang teman mengadu kepada Pastor Pembina Kesiswaan karena dia diejek dengan ungkapan “Dasar Jowo!” Mendengar pengaduan itu, Romo pun bertanya “Lah, kamu kan orang Jowo to? Kenapa kamu harus marah kalau mereka memanggilmu Jowo? Kenyataannya, kamu memang orang Jowo. Iya kan?” Interaksi keseharian kami, secara perlahan menuntun dan membuat kami mengenal serta menerima diri kami lengkap dengan sejarah hidup yang menyertai kami sejak lahir. Penerimaan diri ini membuat kami menjadi mudah untuk menerima orang lain yang berbeda dengan kami. Kami sadar penuh bahwa setiap pribadi tumbuh dengan otentitasnya masing-masing. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan atas realitas tersebut. Kami pun bisa tertawa lepas bebas menanggapi perbedaan yang ada.

Negara ini tampaknya terlalu mendewakan keseragaman. Keseragaman memang (tampaknya) ditujukan untuk menghapuskan realitas pluralisme yang ada di sekitar kita. Sebagai contoh, seragam sekolah akan membuat anak dari kalangan orang kaya akan tampak sama dengan anak dari kalangan orang miskin. Sepintas ini baik, tetapi kita menjadi tidak terbiasa terpapar dengan mereka yang berasal dari kalangan berbeda. Nurani dan empati kita akan tumpul menanggapi teman kita yang berasal dari kalangan tidak mampu. Kita tidak akan mampu melatih bela rasa terhadap mereka yang kurang beruntung. Pun kita minder atau merasa rendah diri ketika berhadapan dengan kalangan berpunya. Kita seakan-akan terkungkung dalam dunia yang seragam. Alhasil, kita menjadi gagu dan kaku dalam merespon setiap perbedaan yang muncul atau lebih parah lagi, kita menjadi phobia terhadap segala jenis perbedaan yang ada di setiap segi kehidupan.

Bagi saya pribadi, pemilu kali ini adalah penentu bagi keberlangsungan pluralisme di Indonesia. Saya melihat bagaimana ormas-ormas yang kerap diidentikkan dengan kekerasan berdiri di belakang lawan Pak Jokowi. Mereka menanti dengan penuh harap untuk kekalahan Pak Jokowi dan akhirnya bisa melancarkan segala rencana. Saya takut membayangkan bahwa mereka akan memberangus kemajemukan yang sudah dihidupi sejak lama di negeri ini dan menggantinya dengan paham-paham berdasarkan dalil agama atau prinsip-prinsip lain yang mereka percayai. Saya takut bangsa ini akan kembali menghalalkan kekerasan untuk mencapai keseragaman. Saya takut negeri ini kembali jatuh pada penganiayaan terhadap ide-ide dan nilai-nilai kemanusiaan.

Saya berharap Pak Jokowi dan Pak JK menjadi pemimpin bangsa ini untuk 5 tahun ke depan. Saya percaya dengan kapabilitas Pak Jokowi yang sadar penuh tentang pentingnya pilar ketiga dalam Trisakti yaitu “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya” untuk segera diwujudkan dan diimplementasikan. Saya juga percaya, pengalaman Pak JK yang berhasil menjadi juru damai di berbagai macam konflik baik di Indonesia maupun internasional akan menambah daya upaya untuk penerapan prinsip dasar ini.

Saya sangat setuju dengan salah satu kalimat yang saya baca di Revolusi Mental bahwa sistem pendidikan Indonesia harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Selama ini pendidikan Indonesia hanya bertujuan untuk membangun kompetensi, membentuk manusia-manusia berotak cerdas. Namun, di sisi lain, kita lupa untuk mengembangkan aspek lain yaitu karakter. Tanpa adanya karakter baik yang dikenalkan, dibudayakan, dan dikembangkan terus menerus, kita hanya akan tumbuh menjadi bangsa dengan otak cerdas tapi kehilangan hati nurani dan moral kita sebagai manusia. Kita akan tumbuh menjadi masyarakat egois yang dengan seenak hati menindas dan menganiaya siapa pun, tanpa terkecuali, yang mempunyai pandangan atau pemikiran yang berbeda dengan kita. Kita lambat laun akan melahirkan generasi-generasi diktator yang dengan kejamnya akan membinasakan manusia-manusia yang dianggap tidak sejalan dengan keinginan kita. Perbedaan yang muncul seharusnya tidak lantas meniadakan secara otomatis nilai kemanusiaan yang melekat pada pribadi seseorang.

Pembangunan karakter menjadi hal penting yang harus secara sadar dibangun dan diupayakan secara berkelanjutan mulai dari pendidikan tingkat dasar. Pendidikan di sekolah harus mampu mengenalkan nilai-nilai kemajemukan bangsa, sekaligus memaparkan secara langsung nilai-nilai tersebut dalam kehidupan keseharian. Hal ini akan membuat kita bisa bereaksi secara tepat terhadap pluralisme yang tumbuh di masyarakat Indonesia. Generasi muda Indonesia harus mulai dididik untuk bisa menerima perbedaan. Bangsa ini harus mulai untuk belajar berefleksi terhadap setiap aksi yang akan dilakukan, bukan malah selalu bertindak reaktif dan terus berkonflik tanpa pernah memikirkan dampak negatif yang akan muncul. Kita harus mulai belajar untuk memahami dan menghidupi “Bhineka Tunggal Ika” dalam keseharian kita. Bukan hanya melulu menganggap itu sebagai jargon usang yang terpampang di depan ruang kelas. Kita harus mulai belajar menganggap perbedaan itu sebagai suatu anugerah dan kekayaan bangsa ini, bukan menjadi sesuatu yang harus dihujat mati-matian. Bangsa ini perlu belajar mendewasakan pemikiran dan berbesar hati menerima kemajemukan SARA maupun pilihan politik. Keberagaman seharusnya mampu dipahami sebagai sarana untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman jiwa.Dengan itu semua, kita bisa menanggapi perbedaan sebagai sebuah gurauan tanpa melukai kemanusiaan itu sendiri.

Akhir kata, saya titipkan harapan untuk keberlangsungan kemajemukan bangsa Indonesia ke tangan Pak Jokowi. Semoga Pak Jokowi dan Pak JK bisa memenangkan pemilu presiden kali ini dan membawa bangsa Indonesia menjadi lebih MERDESA!

Salam Hormat,
Athanasius Wrin Hudoyo



Tidak ada komentar: