Dear Pak Jokowi,
Beberapa hari yang lalu,saya
dikejutkan kabar bahwa rumah salah satu teman saya diserang oleh orang tidak
dikenal saat sedang mengadakan Doa Rosario. Motif yang mengemuka pertama kali
adalah soal agama. Tetapi kemudian belakangan,ditengarai motif penyerangan
karena adanya perbedaan pilihan politik. Saya menjadi tidak habis
pikir,sebegitu kolotkah Indonesia dalam menanggapi perbedaan? Apakah perbedaan
kemudian menjadi justifikasi yang sahih untuk melakukan kekerasan? Apakah memang
perbedaan secara perlahan menuntun kita untuk menumpulkan rasa kemanusiaan dan
hati nurani kita? Tidakkah kita bisa menanggapi perbedaan dengan kelakar tanpa
menyelipkan rasa benci di dalamnya?
Saya pikir mungkin ada yang
salah dalam penanaman pola pikir terhadap keberagaman. Keberagaman (dlm cakupan
yang lebih luas dibanding SARA, misal pemikiran,pilihan politik,pendapat)
sering dianggap sebagai hal yang aneh,tidak lazim, bahkan ada yang menabukan.
Kita akan cenderung mencerca dan menghakimi orang lain yang tidak sama dengan
kita. Pola pikir ini menyebabkan kita tidak pernah sungguh-sungguh memahami
toleransi dan menghargai perbedaan dalam keseharian kita.
Saya teringat pengalaman
ketika SMP. Waktu itu saya bersekolah di sekolah negeri yang notabene mayoritas
Muslim dan bersuku Jawa. Saya menjadi saksi bagaimana teman dekat saya di-bully selama hampir 3 tahun karena
Tionghoa. Lebih parah lagi, ada oknum guru yang turut berlaku tidak adil
gara-gara teman saya keturunan Tionghoa. Saya berpikir, sebegini sulitkah untuk
menjadi berbeda di negara ini? Apakah kita akan selalu dipandang dan
diperlakukan hanya berdasarkan agama atau suku?
Anggapan ini musnah ketika
saya melanjutkan sekolah di SMA Kolese De Britto. Sekolah ini adalah tempat
pertama kali saya belajar toleransi.Kami memang tidak pernah belajar teori
omong kosong tentang toleransi, tetapi kami berhadapan langsung dengan
pembelajaran atas toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Kami diperbolehkan
berambut gondrong, boleh memakai baju bebas asal berkerah,boleh memakai sepatu
sandal, dan boleh melakukan banyak hal asal disertai dengan kesadaran dan
tanggung jawab. Kami dididik untuk selalu melakukan penghargaan atas esensi
kemanusiaan,bukan melulu menilai berdasarkan pakaian yang dikenakan, status
ekonomi, latar belakang, maupun tampilan fisik semata. Kami diajarkan untuk
tidak mudah menilai seseorang hanya dari tampilan luar, terlalu superfisial.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa manusia terdiri dari nilai-nilai yang dibawa,
dialami, diyakini dan dibangun bertahun-tahun. Kita baru bisa menilai secara
obyektif ketika kita mampu meniadakan jarak sehingga muncul pemahaman yang
lebih mendalam tentang nilai-nilai yang digeluti seseorang. Kita pun akan
menjadi lebih bijaksana dalam bersikap ketika kita mau melihat dan memahami
perbedaan itu.
Di sekolah, kami juga hidup
dalam dikotomi Jawa-Tionghoa. Ungkapan seperti "Woooo..dasar cino pelit"
dan "woooo..dasar jowo kere" adalah ungkapan yang sering kali muncul
dalam keseharian sekolah. Memang terdengar sangat tidak pantas dan sangat
rasialis. Kami menyadari bahwa ungkapan tersebut muncul sebagai bentuk ekspresi
keakraban dan respon interaksi pertemanan atas perbedaan yang muncul dalam
keseharian kami. Kami menjadikan keunikan masing-masing ras sebagai bahan gojekan atau tertawaan kami sehari-hari.
Sekalipun begitu, kami tidak pernah merasa tersinggung dengan ucapan seperti
itu. Kami menyadari sepenuhnya bahwa ketika kami “mengejek”, tidak pernah ada
sedikit pun keinginan untuk merendahkan atau melecehkan orang tersebut. Kami
tidak akan membiarkan kebencian sekecil apapun terselip dalam setiap perkataan
kami.
Suatu hari, salah seorang
teman mengadu kepada Pastor Pembina Kesiswaan karena dia diejek dengan ungkapan “Dasar Jowo!” Mendengar
pengaduan itu, Romo pun bertanya “Lah, kamu kan orang Jowo to? Kenapa kamu
harus marah kalau mereka memanggilmu Jowo? Kenyataannya, kamu memang orang
Jowo. Iya kan?” Interaksi keseharian kami,
secara perlahan menuntun dan membuat kami mengenal serta menerima diri kami
lengkap dengan sejarah hidup yang menyertai kami sejak lahir. Penerimaan diri
ini membuat kami menjadi mudah untuk menerima orang lain yang berbeda dengan
kami. Kami sadar penuh bahwa setiap pribadi tumbuh dengan otentitasnya
masing-masing. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan atas realitas tersebut.
Kami pun bisa tertawa lepas bebas menanggapi perbedaan yang ada.
Negara ini tampaknya terlalu
mendewakan keseragaman. Keseragaman memang (tampaknya) ditujukan untuk
menghapuskan realitas pluralisme yang ada di sekitar kita. Sebagai contoh, seragam
sekolah akan membuat anak dari kalangan orang kaya akan tampak sama dengan anak
dari kalangan orang miskin. Sepintas ini baik, tetapi kita menjadi tidak
terbiasa terpapar dengan mereka yang berasal dari kalangan berbeda. Nurani dan empati
kita akan tumpul menanggapi teman kita yang berasal dari kalangan tidak mampu. Kita
tidak akan mampu melatih bela rasa terhadap mereka yang kurang beruntung. Pun
kita minder atau merasa rendah diri ketika berhadapan dengan kalangan berpunya. Kita seakan-akan terkungkung dalam dunia yang seragam.
Alhasil, kita menjadi gagu dan kaku dalam merespon setiap perbedaan yang muncul
atau lebih parah lagi, kita menjadi phobia terhadap segala jenis perbedaan yang
ada di setiap segi kehidupan.
Bagi saya pribadi, pemilu kali ini adalah
penentu bagi keberlangsungan pluralisme di Indonesia. Saya melihat bagaimana
ormas-ormas yang kerap diidentikkan dengan kekerasan berdiri di belakang lawan
Pak Jokowi. Mereka menanti dengan penuh harap untuk kekalahan Pak Jokowi dan akhirnya
bisa melancarkan segala rencana. Saya takut membayangkan bahwa mereka akan
memberangus kemajemukan yang sudah dihidupi sejak lama di negeri ini dan
menggantinya dengan paham-paham berdasarkan dalil agama atau prinsip-prinsip
lain yang mereka percayai. Saya takut bangsa ini akan kembali menghalalkan
kekerasan untuk mencapai keseragaman. Saya takut negeri ini kembali jatuh pada
penganiayaan terhadap ide-ide dan nilai-nilai kemanusiaan.
Saya berharap Pak Jokowi dan
Pak JK menjadi pemimpin bangsa ini untuk 5 tahun ke depan. Saya percaya dengan
kapabilitas Pak Jokowi yang sadar penuh tentang pentingnya pilar ketiga dalam
Trisakti yaitu “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya” untuk
segera diwujudkan dan diimplementasikan. Saya juga percaya, pengalaman Pak JK
yang berhasil menjadi juru damai di berbagai macam konflik baik di Indonesia
maupun internasional akan menambah daya upaya untuk penerapan prinsip dasar
ini.
Saya sangat setuju dengan
salah satu kalimat yang saya baca di Revolusi Mental bahwa sistem pendidikan
Indonesia harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia
yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung nilai-nilai moral agama yang hidup
di negara ini. Selama ini pendidikan Indonesia hanya bertujuan untuk membangun
kompetensi, membentuk manusia-manusia berotak cerdas. Namun, di sisi lain, kita
lupa untuk mengembangkan aspek lain yaitu karakter. Tanpa adanya karakter baik
yang dikenalkan, dibudayakan, dan dikembangkan terus menerus, kita hanya akan
tumbuh menjadi bangsa dengan otak cerdas tapi kehilangan hati nurani dan moral
kita sebagai manusia. Kita akan tumbuh menjadi masyarakat egois yang dengan
seenak hati menindas dan menganiaya siapa pun, tanpa terkecuali, yang mempunyai
pandangan atau pemikiran yang berbeda dengan kita. Kita lambat laun akan
melahirkan generasi-generasi diktator yang dengan kejamnya akan membinasakan
manusia-manusia yang dianggap tidak sejalan dengan keinginan kita. Perbedaan
yang muncul seharusnya tidak lantas meniadakan secara otomatis nilai
kemanusiaan yang melekat pada pribadi seseorang.
Pembangunan karakter menjadi
hal penting yang harus secara sadar dibangun dan diupayakan secara
berkelanjutan mulai dari pendidikan tingkat dasar. Pendidikan di sekolah harus
mampu mengenalkan nilai-nilai kemajemukan bangsa, sekaligus memaparkan secara
langsung nilai-nilai tersebut dalam kehidupan keseharian. Hal ini akan membuat
kita bisa bereaksi secara tepat terhadap pluralisme yang tumbuh di masyarakat
Indonesia. Generasi muda Indonesia harus mulai dididik untuk bisa menerima
perbedaan. Bangsa ini harus mulai untuk belajar berefleksi terhadap setiap aksi
yang akan dilakukan, bukan malah selalu bertindak reaktif dan terus berkonflik
tanpa pernah memikirkan dampak negatif yang akan muncul. Kita harus mulai
belajar untuk memahami dan menghidupi “Bhineka Tunggal Ika” dalam keseharian
kita. Bukan hanya melulu menganggap itu sebagai jargon usang yang terpampang di
depan ruang kelas. Kita harus mulai belajar menganggap perbedaan itu sebagai
suatu anugerah dan kekayaan bangsa ini, bukan menjadi sesuatu yang harus
dihujat mati-matian. Bangsa ini perlu belajar mendewasakan pemikiran dan
berbesar hati menerima kemajemukan SARA maupun pilihan politik. Keberagaman
seharusnya mampu dipahami sebagai sarana untuk menciptakan kedamaian dan
ketentraman jiwa.Dengan itu semua, kita bisa menanggapi perbedaan sebagai
sebuah gurauan tanpa melukai kemanusiaan itu sendiri.
Akhir kata, saya titipkan
harapan untuk keberlangsungan kemajemukan bangsa Indonesia ke tangan Pak Jokowi.
Semoga Pak Jokowi dan Pak JK bisa memenangkan pemilu presiden kali ini dan
membawa bangsa Indonesia menjadi lebih MERDESA!
Salam Hormat,
Athanasius Wrin Hudoyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar