Selasa, 07 Oktober 2008

Perfeksionis Tidak Becus Anti Kritik


Mungkin judul itulah yang cukup tepat untuk menggambarkan kondisiku selama ini. Terlebih lagi aku tadi pagi-pagi sudah beradu argumen dengan ibu di kamar tidur milik beliau. Penyebabnya sepele memang, aku mau buang air besar di kamar mandiku tapi kebetulan bapak sedang mandi di sana. Terus ibuku menyarankan untuk memakai kamar mandi di kamarnya, aku tidak mau dengan alas an dudukannya terlalu pendek sehingga nggak nyaman, lagipula nanti kalo rejek (airnya menggenang.red) aku pasti akan kena marah beliau. Eh, tau-tau ibuku langsung menanggapi dengan ngomong “Orang yang survive adalah orang yang bisa beradaptasi dengan cepat!” Ya terus terang aku langsung diam dan menahan marah seketika menanggapi omongan ibuku tersebut. Padahal tadi malam aku kena marah lagi karena aku nggak mau mengambilkan kunci apotik. Yah, pokoknya suram duramlah kondisiku sama ibuku belakangan ini. Tapi untungnya si bapak masih menciptakan suasana yang cukup kondusif sehingga aku masih saja betah tinggal di rumah ini.

Aku tiba-tiba berpikir setelah aku dibangunkan oleh bapakku pagi ini, apakah aku orang yang perfeksionis dan anti kritik? Yups, mungkin inilah target perbaikan pribadiku selanjutnya, setelah apa yang kualami selama ini, mungkin sifat ini secara tidak langsung mengendap dalam paradigmaku. Semenjak kecil aku sudah dibentuk sebagai seseorang yang hebat dan harus kelihatan pintar di hadapan orang lain. SD aku sudah langganan juara 1 sejak kelas 1 sampai kelas 6, kalaupun tidak beruntung aku paling-paling jadi juara 2. Hasil buruk yang menimpaku pas ebtanas membuat semangatku untuk membuktikan bahwa aku pintar membuncah ketika aku masuk smp. Di sana aku berhasil menjadi ranking satu parallel satu angkatan, cukup membanggakan memang, dan cukup membuat aku dicap sebagai anak pintar di sekolah. Prestasi ini memang tidak bisa kupertahankan karena kinerja yang menurun, tapi berhasil lagi kuraih saat-saat terakhir di smp. Kejadian yang sama terjadi pada saat sma, tidak ada sesuatu yang istimewa karena aku berada di kelas yang benar-benar hancur, bayangkan saja dari 40 anak yang tidak naik kelas ada 11 orang. Hebat bukan! Prestasiku konstan-konstan saja, sampai pada ujian akhir sekolah aku bisa berada di peringkat 7 sekolah walaupun terpuruk ke urutan 69 ujian akhir nasional. Tapi hasil ini membuatu aku bangga dengan apa yang sudah aku lakukan selama ini.

Itulah track record yang bisa saia beberkan kepada kalian semua yang membaca tulisan ini. Tapi apakah hidupku hanya untuk pencapaian akademik seperti itu? Aku juga tidak mau terjerumus untuk berkubang dalam lingkaran pendidikan yang terkadang hanya menjadikan manusia utuh setengah sebagai seorang pribadi. Lahir dari ibu yang pintar dan sekarang jadi dokter tekenal serta perfeksionis secara tidak sengaja menurunkan genetic sifat tersebut kepadaku. Pokoknya aku harus bisa seperti ibu. Itulah yang ada di benak kala SD dan SMP. Saat SMA aku sudah tidak mau lagi disama-samakan dengan ibuku lagi, dan pemberontakan yang paling keliahatan adalah aku tidak belajar supaya aku kelihatan bodoh dan tidak disandingkan dengan ibuku. Tapi segala usaha itu sirna karena aku tetap saja bersifat perfeksionis dan ingin semua orang kagum atas kepintaranku. Inilah yang tidak bisa lepas dari hadapanku, bahwa aku ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Aku ingin dihargai dan dipandang sebagai orang yang pintar, sukses, dan selalu bisa melakukan segala sesuatu di hadapan orang lain. Aku tidak ingin terlihat sebagai orang bodoh yang bisanya hanya bisa plongah-plongoh dan tidak berbuat apapun bagi orang di sekitarnya.

Akibatnya sudah bisa ditebak, aku tumbuh menjadi orang yang egois dan tidak mentolerir segala macam bentuk kekurangan. Terlebih ketika ada orang lain yang mencoba untuk mengkritik apa yang aku lakukan pasti akan ada rasa marah yan terbersit di dada.Huh…aku mulai jengah dengan sikapku yang satu ini. Lebih lagi bahwa aku harus tinggal satu rumah dengan orang yang perfeksionis dan orang itu sangat dekat denganku. Mungkin ini bisa jadi sifat yang baik ketika dua orang tersebut saling dukung, tapi aku tidak terlalu suka dengan cara ibuku memperingatkan aku. Ibuku pasti straight to the point bila ada sesuatu yang tidak ia suka. Aku menilai caranya ini tidak melahirkan situasi yang baik untuk tercipta suatu proses diskusi yang membangun jati diriku. Aku masih menganggap bahawa aku masih perlu banyak belajar mengenai hal-hal yang ada di sekitarku. Aku masih kecil dan tidak terlalu mengerti mengenai dunia ini. Walaupun aku terbiasa hidup “sendiri” semenjak kecil toh aku tidak bisa hidup selamanya dalam sikapku yang seperti ini. Aku sangat sadar bahwa tidak semua orang di dunia ini akan bisa menerimaku secara terbuka, memahami secara baik apa yang aku kerjakan, dan bila aku terus memelihara sikap ini, maka aku akan menemui kesulitan yang sangat besar di dunia yang sesungguhnya. Ya, aku sering mendengar bahwa orang yang tidak mau dikritik adalah orang yang paling bodoh sedunia. Dia menganggap kalau dia adalah orang yang paling pintar, tetapi kenyataannya dia adalah orang yang paling bodoh dan paling dungu di seantero jagad raya. Itulah yang aku rasakan akhir-akhir ini, aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Dan sedikit demi sedikit aku mulai berkata kepada diriku sendiri bahwa
“Aku adalah orang yang paling tidak tahu segalanya di dunia ini!”
sehingga aku perlu menyerap apapun yang memang pantas untuk aku pelajari. Orang yang bersedia dikritik berarti dia adalah orang yang RENDAH HATI, begitu kata Bunda Teresa. Orang yang rendah hati adalah orang yang tidak sombong, orang yang tidak mau berdebat dengan orang lain walaupun dia tahu bahwa hal itu adalah hal yang benar. Ya pokoknya seperti itulah! Dan aku masih jauh dari apa yang pernah dikatakan oleh Bunda Teresa tersebut. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Mumpung aku masih ada di rumah dan masih ada orang yang setia memperhatikan. Begitulah yang seharusnya diperbuat!

Aku terkadang iri dengan Yosi, Siddha, ataupun Wandan yang bisa dengan enak berdiskusi dengan orangtua mereka ketika mereka melakukan sesuatu yang salah. Dan itu aku anggap sebagai sarana pembentukan diri yang cukup hebat. Sedangkan aku hanya bisa menulis dan memecahkan masalahku sendiri secara pikiran dan apa yang aku anggap benar. Sehingga terkadang aku bersikap bahwa segala yang aku lakukan benar adanya dan tanpa cacat. Padahal aku yakin bahwa apa yang aku lakukan bahkan tidak lebih baik daripada seorang gelandangan sekalipun. Ya inilah hidupku! Aku harus menerima ini sebagai salah satu cara untuk memperbaiki hidup karena tanpa perubahan dan evaluasi serta pembenahan diri setiap harinya, aku sudah menjadi mayat hidup yang hanya bisa berjalan tanpa tentu arah. Aku berpikir kalau sikapku yang mirip ibuku ini hanya bisa ditangani oleh orang yang benar-benar mengerti akan behavioral maternal yang menurun kepadaku. Ya aku harus meminta tolong untuk ini sebelum semuanya terlambat. Kepada siapa? Siapa lagi kalau bukan kepada bapakku, hahaha……

“Semoga aku tumbuh menjadi seorang perfeksionis yang rendah hati dan tidak anti kritik!!"


2 komentar:

My_Sanctuary mengatakan...

dear palz...
i ever been in your position(perharps)
i ever felt that my home wasn't conditioned to be open for something personal.
later it made me become a person who always try stand by myself, solve problems by my own mind and ways.
as far as i could remember, i never have such a sharing time heart to heart with my parents. this all make me become more introvert
but there's a single unique way, i don't wheteher my parents realizi it or not, but the book they gave to read, become our device to communicate some idea, thoughts and feellings.
, till my highschool time, a lot of changing process happen there.
buat singkatnya.. i just want to say to you Kahlil Gibran Says : it needs two people to find the truths, one to telling it and other to listen. so open up your mind and hearts.
even Superman need Lois Lane, needs Green Arrow, Needs Chloe, to make he whole and stronger.
best regard.

BM Laura Killed mengatakan...

1 saran :

belajarlah mendengar dan menerima pendapat orang lain. Seseorang BISA karena TERBIASA