Minggu, 05 Oktober 2008

Takut Mati

Takut Mati
Minggu pertama bulan oktober!

Pernahkah anda mengalami perasaan takut akan kematian? Mungkin akan banyak yang tidak takut tapi diantara segelintir itu pasti ada sejumput orang yang takut bila harus berhadapan dengan kematian. Biasanya sih sindrom takut mati itu terjadi bila kita harus berhadapan dengan situasi yang tidak bisa dikontrol oleh diri sendiri. Dalam artian situasi yang sedang ada di depan mata kita tidak akan bisa dirubah dengan kekuatan yang ada di dalam diri kita. Kalau tak pikir-pikir lagi kok kayanya definisi sindrom takut mati yang saia lontarkan ini kurang sesuai ya? Tapi biarlah, namanya juga tulisan bebas.

Beberapa kali saia pernah merasakan sindrom takut mati. Biasanya sindrom ini akan kambuh dengan sendirinya ketika saia naik pesawat. Entah kenapa saia menjadi paranoid sekali semenjak penerbangan ke Manado hampir setahun yang lalu. Saat itu pesawat yang saia tumpangi adalah milik perusahaan VOC yang bangkit lagi untuk mengenang masa lalu lewat udara (baca:Batavia Air). Nah, sebenarnya tidak ada masalah dengan pesawatnya, tapi awal tahun kan ada pesawat Adam Air yang jatuh secara mengenaskan. Padahal pesawat itu kan pasti akan melwati daerah selat makassar yang menjadi momok karena medan magnet yang sangat kuat di daerah itu. Kalau nggak salah, dulu pernah ada koran yang menamakan daerah itu sebagai Segitiga Bermuda-nya Indonesia. Asem tenan. Sepanjang perjalanan Jogja-Balikpapan-Manado hanya berdoa rosario dan nggak mau ngobrol sama temen di sebelahku karena ketakutan yang teramat sangat. Apalagi beberapa kali landing tidak berjalan dengan mulus, ada yang miring ke samping, benturan yang cukup keras, dan beberapa hal lain yang membuatku paranoid sampai sekarang. Itulah pertama kali aku berada di zona takut mati. Entah kenapa aku bisa merasakan hal seperti itu, padahal teman seperjalananku semuanya dalam kondisi santai.

Kemarin aku berada dalam zona takut mati dua kali dalam jangka waktu yang tidak terlalu berselang jauh. Kejadian pertama adalah pada saat saia harus terbang memakai pesawat dengan maskapai yang sama dari Jakarta-Jogja. Perasaan tidak mengenakkan langsung menyeruak ketika tahu harus terbang dengan maskapai itu. Ditambah lagi teman saia yang mempunyai indera keenam secara tidak sengaja menakuti-nakuti saia dengan mimpi buruknya yang akhir-akhir ini menjadi kenyataan. Asem. Tambah paranoid aku. Lebih lagi, pas mau masuk ke ruang boarding tiket yang aku pegang ternyata salah dan harus diganti. Pikiranku langsung berkata “Mungkin Tuhan masih sayang aku dan tidak mau aku mati karena kecelakaan pesawat. Makanya tiketnya sengaja disalahain.” Segala jenis ketakutan yang tidak beralasan hinggap silih berganti di otakku. Terlalu berlebihan memang, tapi saia membiarkan ini hanya berkecamuk di kepala. Saia tidak sebegitu tololnya sampai-sampai harus menunjukkan perasaan takut mati dengan ekspresi bak seniman teater yang mati-matian menghayati tiap peran sandiwaranya. Alhasil, di pesawat saia terus-terusan mendaraskan doa kepada Tuhan supaya kalau aku mati paling tidak aku mati dalam keadaan sedang berdoa. Benar-benar bikin deg-degan. Sial!

Kejadian kedua menimpaku malam harinya, aku sampai rumah jam 5 sore setelah sempat bertengkar dengan Indra di halte bis trans jogja. Habis itu langsung ke rumah Neni untuk menjemputnya dan ke gereja. Rencananya, sepulang gereja saia mengantarkan Neni sampai ke Solo karena besok memang dia ada ujian praktikum. Bodohnya saia tidak mengetahui batas kemampuan diriku. Saia yang pertama kali menawarkan untuk mengantarkan sampai ke Solo. Dan sekali ngomong tentu saja saia tidak mencabut lagi (kecuali untuk alasan tertentu). Perjalanan Jogja-Solo saia lalui dengan cukup mudah karena ada teman ngobrol sehingga aku yang sedang dalam kondisi ngantuk dan laper tidak menghiraukuan perasaan itu. Nah, masalah datang ketika saia harus melakukan perjalanan pulang ke Jogja. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Perut keroncongan karena belum makan semenjak siang. Mata mengantuk karena kecapekan. Apalagi situasi ini diperparah dengan tidak adanya teman dalam melakukan perjalanan. Alhasil, saia membeli sekotak terang bulan yang ternyata cukup ampuh untuk mengganjal perut sekaligus membuat saia TAMBAH NGANTUK!

Bener aja, mataku sudah semakin berat semenjak keluar dari Surakarta menuju jalanan lurus yang tanpa ujung. Waktu pertama sih masih sanggup nge-gas sampe 100km/jam, tapi lama-lama kok ngantuknya semakin parah ya. Beberapa kali tertidur sepersekian detik dan hampir menabrak separator jalan. Nggak bisa mbayangin deh kalo aku nabrak separator dalam kecepatan yang cukup tinggi. Bisa hancur berkeping-keping tuh mobil. Keputusan darurat pun diambil, kecepatan diturunkan hampir setengahnya. Itupun ternyata belum cukup untuk mengobati ngantuk yang sudah sampe stadium 3. Apalagi daerah yang sedang dilewati nggak ada sinyal radio. Sepi banget di dalem mobil.
Pernah karena saking ngantuknya, saia tidur di lampu merah terus nyadar kalo udah lampu ijo dan tahu-tahu udah nyampe lampu merah berikutya. Jadinya, aku tidur di satu ruas sepanjang dua lampu merah. Ngeri tenan! Udah beberapa kali belok kanan-kiri gag jelas gitu, hampir keserempet mobil di jalanan sebelah. Edyan tenan. Berasa mau mati tadi malem. Tapi aku pikir kok nggak keren ya, mati karena alasan ketiduran. Gag elit banget gitu kayanya. Untung masih diberkati Tuhan, jadinya bisa nyampe di rumah dengan selamat.

Mari berimajinasi sejenak: tengah malam-tidak ada sinyal radio-perut kenyang habis dikasih makan-ngantuk berat-separator dan bis malam siap menerjang tanpa ampun! Bayangkan saja semau anda, saia sudah pernah mengalaminya dan tidak mau membayangkan lagi.

Sebenarnya sih tidak ada yang salah dengan perasaan takut mati. Orang tua saia pernah bilang bahwa “Urip nang ndonya ki ming nunut ngombe”. Jadi ya memang hidup di dunia ini hanya untuk sementara karena semua orang pasti akan mati. Nah, masalahnya adalah orang-orang yang siap untuk berhadapan dengan kematian “biasanya” orang-orang yang sudah berumur dan merasa punya bekal yang cukup banyak untuk bisa dipertanggungjawabkan di surga. Lha kalo saia yang mati, masih muda gini,dosanya masih banyak, lah pahalanya belum ada sama sekali. Nanti kalo ditanyain, kamu udah ngapain aja di dunia? Masak cuma tak jawab “Kayanya enggak ngapa-ngapain deh di dunia”. Nah lo, bisa berabe tujuh keliling kan, langsung dimasukkan ke dalam neraka tanpa ada basa-basi yang cukup menghibur tuh. Alasan yang sebenarnya cukup bodoh untuk menghadapi kematian. Tapi dalam umur saia yang masih 20 tahun ini, tampaknya saia belum bisa PASRAH untuk menyerahkan hidup saia yang masih tidak berguna ini. Masih banyak hal yang perlu saia persiapkan supaya pada nantinya saia cukup pantas untuk dihantar banyak orang ketika saia mati. Banyak hal-hal baik yang belum saia lakukan di dunia ini. Apalagi cita-cita saia untuk berpetualang di bumi Papua belum juga kesampean. Masak udah harus meninggalkan dunia ini. Kan gag seru juga tuh. Karena itu jugalah, saia pernah bilang pada salah seorang teman. “Mbul, enak juga ya kalo kita kena HIV-AIDS?” Teman saia itu langsung mencak-mencak gag karuan karena nggak setuju dengan apa yang bilang. Terus saia lanjutkan kalimatnya “Lho, bukannya malah jadi enak ya karena kita tahu kapan kita akan mati, jadinya kita akan melakukan segala sesuatu yang terbaik di sisa akhir hidup kita” Nah, baru temen saia itu mikir lebih lanjut. Teman yang aneh memang.

Tapi ya itu, kita memang tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Ibaratnya kalau tuan rumah udah tau kapan maling akan datang ke rumahnya, tentu dia akan mengerahkan satu batalyon tentara supaya rumahnya tetap aman. Jadi, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah BERBUAT BAIKLAH DI SETIAP WAKTU DALAM HIDUPMU, JADI KALO TIBA-TIBA MATI MUDA, KAMU BISA TETEP MASUK SURGA WALAU ADA DI TINGKAT TERBAWAH. Hehehe…..Tulisan yang cukup bodoh. Silakan dibaca dan dipahami lebih lanjut!

*tulisan ini juga bisa dilihat di www.senjakalafajar.blogspot.com

1 komentar:

RATU MIRZA mengatakan...

saya pernah takut mati .
waktu saya nge drop gara2x sakit .
wawawa .
mungkin teguran kali yaa ..