Sabtu, 24 April 2010

Keluargasing!

Saat ini aku sedang melihat Oprah, salah satu talkshow yang menampilkan beberapa narasumber untuk diwawancarai, tapi kadang dia juga membuat program-program yang berhubungan dengan kondisi sosial, tentunya yang relevan dengan kondisi masyarakat di Amerika. Mirip dengan acara Kick Andy yang sangat digemari di negeri kita tercinta ini. Sebuah acara yang memunculkan banyak insipirasi bagi kehidupan manusia ke depannya. Kadang-kadang kita dipaksa untuk merekonstruksi lagi perjalanan hidup yang telah kita lalui. Dengan melihat bahwa orang lain sudah berbuat sesuatu bagi orang lain lagi yang kesulitan, rasa malu pun membuncah. Terjadi refleksi yang mencuat dalam diri dan berikrar bahwa suatu hari nanti pasti aku akan melakukan hal-hal tersebut. Tapi kata bapak, kita nggak akan mungkin melakukan hal-hal besar tanpa kita terbiasa melakukan hal-hal kecil terlebih dahulu. Mungkin memang tidak usah terlalu muluk harus berbuat sesuatu yang besar bagi duniamu, buatlah dulu orang-orang di sekitarmu merasakan kehadiranmu sebagai sesuatu yang mencerahkan, memberikan inspirasi, dan bukan malah sebaliknya.

Kembali ke acara tivi tersebut, Oprah memberikan tantangan pada dua keluarga yang berjudul “What can you live without?” Pada intinya, tantangan ini berupa pengambilan sejumlah barang yang terbiasa digunakan oleh kedua keluarga tersebut. Barang-barang yang diambil adalah gagdet yang biasa mereka pakai, misalnya tivi, komputer, xbox, ataupun ponsel. Barang-barang itu disita selama seminggu. Apa yang terjadi dalam kehidupan mereka? Bisa dikatakan kalau kehidupan mereka adalah kehidupan keluarga modern jaman sekarang ini. Mereka terlalu sibuk dengan barang-barang berteknologi yang mereka punya. Si bapak sibuk dengan acara nonton tivinya, si ibu sibuk dengan laptop dan telepon dari teman-temannya membicarakan tentang salah satu miniseri di tivi, si adik sibuk dengan xboxnya, dan si kakak sibuk dengan laptop, ipod, dan telepon berisi gosip dari teman-temannya. Itulah yang sehari-hari dilakukan sehingga tegur sapa, diskusi, bahkan saling tanya kabar pun jarang terjadi di keluarga mereka. Semuanya menjadi asing satu sama lain, bahkan anak mereka merasa aneh dan canggung ketika harus berinteraksi dengan orangtua ataupun adik mereka. Bahkan si ibu pun menyuruh anakknya untuk mencuci pakaian atau mengambilkan dia segelas minuman lewat sms, hanya karena dia tidak mau meninggalkan laptopnya. Singkatnya adalah mereka seperti tidak mengenal siapa keluarga mereka, siapa anak mereka, siapa orangtua mereka. Keterasingan di rumah sendiri. Sungguh aneh!

Mari bertanya sejenak? Apakah kondisi di rumahku sama seperti apa yang aku lihat di layar tivi sana? Aku dengan sangat yakin menjawab ”YES”. Rumahku tidak lebih dari rumah singgah biasa. Sebuah tempat dimana saya tidur, makan, belajar, dan berbagai macam hal lain yang bisa saya lakukan di rumah ini. Tapi beberapa tahun ini saya merasa bahwa saya hidup sendiri di rumah ini. Tidak ada lagi interaksi yang aku rasakan dulu sewaktu kecil. Tidak ada lagi kumpul-kumpul keluarga dan berbincang tentang sesuatu hal. Kondisi di sekolah, tempat kerja, atau lingkungan sekitar. Bapak, ibu, aku dan Indra sibuk dengan berbagai macam kegiatan yang membuat kami sering tidak berinteraksi satu sama lain.Paling-paling hanya ada tegur sapa selamat pagi atau selamat sore plus satu pelukan hangat. Itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

Situasi ini membuatku merasa canggung dengan orang-orang yang ada di rumah. Aku merasa aneh ketika berbincang dengan adikku, aku merasa sering emosi ketika berbicara dengan ibuku, ataupun aku hanya diam saja membiarkan bapakku sibuk dengan pekerjaannya sendiri, padahal aku tahu bahwa beliau adalah orang yang sangat asik kalo diajak ngobrol. Pernah aku mengetahui bahwa adikku ternyata sedang sakit dari status yang dia pasang di facebook. Ironi sekali bukan. Satu rumah. Satu atap. Kamar cuma sebelahan tapi aku tau kondisi anggota keluargaku dari situs jejaring sosial. Situasi ini beberapa kali aku keluhkan pada tante atau om ku, beberapa kali pula aku mendapatkan jawaban bahwa situasi ini tidak mungkin dirubah karena kondisilah yang memaksa kita menjadi keluarga yang seperti ini. Tapi ternyata acara di tivi itu menyadarkanku bahwa kita sama sekali tidak boleh menyerah kalah dengan keadaan, kitalah yang seharusnya menjadi penguasa bagi keadaan kita. Hakekatnya adalah ketika kita bertemu dengan sebuah keadaan yang kadang tidak mengenakkan, kitalah yang mempunyai pilihan untuk bisa berbuat sesuatu dalam keadaan seperti itu, bukan keadaan yang memaksa kita untuk menjadi tidak berdaya.

Aku tidak bisa menyalahkan bahwa kami memang punya kesibukan masing-masing. Bapak masih nglaju Jogja-Purworejo untuk mengajar. Indra juga kuliah, pacaran dan punya kesibukan dengan klub motornya. Sedangkan, ibu sekarang sedang sekolah di Jakarta, jadinya hanya punya waktu sekitar 4 hari di Jogja dengan waktu di rumah mungkin kurang dari 12 jam untuk berinteraksi dengan kami. Aku dari kemarin banyak menuntut ibu untuk tidak terlalu sibuk dan memperhatikan anak-anaknya. Keluh kesah yang keluar dari mulutku karena sedari kecil aku selalu ditinggal oleh ibuku dan merasa tidak diperhatikan. Begitu pula dengan adikku. Malahan adikku melewati fase pergolakan yang lebih berdinamika daripada aku, sehingga dulu hampir membuat ibu dan bapakk stres. Aku terlalu fokus menuntut pada orang lain sehingga lupa untuk menuntut diri sendiri. Padahal dari dulu aku selalu berprinsip bahwa bukan orang lain yang bisa kamu kendalikan tapi yang bisa kendalikan hanyalah kamu sendiri. Aku lupa kalau aku terlalu sering menggerutu terhadap keadaan yang aku alami selama ini. Aku lupa kalau aku seharusnya bisa membuat keluargaku ini menjadi lebih kompak lagi. Saling memperhatikan, saling menghargai, saling bertanya kabar, dan beragam “saling” yang lain yang menunjukkan adanya suatu interaksi yang berkelanjutan sebagai sebuah keluarga.

Aku rindu untuk berkumpul dengan mereka. Bahkan sekedar ngobrol bersama di meja makan pun sudah cukup untukku. Aku rindu dengan pelukan hangat dari bapakku. Aku rindu dengan ciuman sayang dari ibuku. Aku rindu maen bilyard dengan adiku. Aku rindu dengan semua itu. Tapi apakah aku hanya akan meninggalkan ini dalam kerinduan semata tanpa berbuat apa-apa?

Aku tidak terlalu muluk untuk bisa memperbaiki keadaan ini dengan kemajuan yang signifikan. Tapi paling tidak aku sadar bahwa aku masih punya keluarga yang perlu diperhatikan. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga dan untuk orang-orang di sekitarmu. Mari menyadari dan berubah bersama!

Refleksi: coba tanyakan pada diri kalian sendiri, bagaimana kondisi keluarga kalian dan apa yang sudah kalian lakukan untuk keluargamu.

Tidak ada komentar: