Sabtu, 24 April 2010

Nyinyir!

Membaca judul di atas pasti anda akan langsung berimajinasi tentang perilaku seseorang yang menyindir perilaku orang lain yang menurut pandangannya tidak pantas untuk dilakukan. Mungkin ada pernah berhadapan dengan orang-orang dengan perilaku nyinyir baik di tempat anda kerja, tempat anda sekolah, pada saat arisan kampung, bahkan pada saat anda ke gereja pun, anda bisa jadi korban perilaku nyinyir orang lain. Atau jangan-jangan anda memang tidak pernah jadi korban karena anda lebih sering berperan sebagai pelaku utama?

Kenapa saya mengambil topik ini sebagai topik cerita saya malam ini? Tidak lain dan tidak bukan karena saya baru saja bersentuhan dengan perilaku ini. Kali ini bukan menjadi korban, tetapi sebagai pelaku utama. Gundul tenan. Yang paling aneh adalah korban saya kali ini bukanlah orang dewasa yang serta merta bertingkah laku ganjil, tidak pantas, atau pernah merugikan saya baik secara moril maupun materiil. Tapi korban saya kali ini adalah seorang anak kecil yang semenjak dia bayi sudah tinggal di rumah saya. Ya, dia adalah ALIF. Seorang anak hasil pergumulan tubuh antara Samsudin dan Lestari yang sehari-hari bekerja membantu kami di rumah. Kenapa juga bisa anak sekecil itu jadi korban kelakuan emosionalku yang sangat tidak beralasan siang itu? Entah juga.

Kejadian yang bagi saya merupakan anomali perilaku ini terjadi siang tadi. Bayangkan saja settingnya ada di rumah yang baru saja selesai direnovasi, ada pintu depan yang langsung berhubungan dengan garasi, lalu ada sofa tempat yang biasanya dipake buat nerima tamu tapi kalau malem saya sulap jadi gudang iler, terus ada sofa malas di depan tivi, ada tivi yang sedang menyala dan menampilkan adegan anak-anak. Si objek penderita sedang memegang remote dan menonton acara anak-anak tersebut. Sedangkan saya yang kali ini berperan sebagai subyek penyiksa baru saja bangun tidur. (Malas sekali saya ini). Lalu saya pun, berjalan keluar masih dengan mata mengantuk, ke arah meja makan, membuka tudung saji, dan melihat menu makanan yang ada di sana. Selera makan tidak begitu bagus siang tadi, tapi karena baru makan bubur kacang ijo tadi pagi, akhirnya saya mengambil nasi dan makan makanan yang ada di meja makan.

Saya menuju ke arah tivi, duduk di sana, dan mulai menikmati acara tivi yang disetel oleh Alif. Sambil menikmati makanan, saya pun berpikir tentang obrolan saya dengan Neni beberapa saat yang lalu tentang hamster, lalu serta merta saya menanyakan pada Alif ”Lif, hamstermu kae isih thok openi ra?” Dia pun menjawab ”Embuh, takon wae bapakku mas.” Entah kenapa mendengar jawaban Alif seperti itu, aku menjadi naik darah seketika. Langsung saja beberapa kalimat bernada menyindir saya lontarkan kepadanya, dengan intonasi yang cukup pedas. Mulai dari kenapa dia nggak merawat hamsternya sampai kalimat-kalimat bernada nggak enak lainnya yang spontan keluar dari mulut saya. Apalagi pada saat dia bilang ”Nek kelinci mesti tak pelihara mas” Aku cuma bilang satu kalimat ke dia ”Halah paling-paling yo mati meneh, kono melihara barong sai wae!”

Ya ampun, sampai malam ini aku menuliskan ini, aku masih nggak percaya bahwa aku bisa berkata dan merespon kelakuan Alif sampai sebegitu parahnya. Padahal dia itu masih kelas 2 SD dan nggak tahu apa yang dia lakukan. Gila. Parah juga menurutku. Mungkin karena hamster itu khusus aku belikan buat dia di pasar Ngasem. Dia kan beberapa waktu yang lalu kesengsem banget sama yang namanya hamster, jadinya aku berinisiatif untuk membeli sepasang hamster. Nggak mahal juga sih harganya, Cuma 15 ribu. Makanya aku jadi bingung kenapa kok aku bisa jadi sebegitu nyinyirnya dengan si Alif.

Aku mencoba menelaah apa yang terjadi dengan pikiran dan perasaanku siang tadi. Begitu mendengar bahwa dia nggak lagi ngurusin hamsternya adalah jerih payahku nggak dihargai oleh Alif. Padahal aku sudah dengan tulus hati dan niat yang ikhlas membelikan dia hamster itu karena aku tau dia pasti akan suka dengan itu. Tapi begitu mendengar bahwa apa yang lakukan ternyata tidak direspon dengan sesuatu yang aku harapkan akan terjadi. Aku menjadi teriritasi dan panas mendadak, walaupun hal itu dilakukan oleh seorang anak kecil yang tidak tahu apa yang dia perbuat itu. Aku jadi berpikir, apakah ketika kita sudah berniat dengan tulus dan ikhlas tapi tidak mendapatkan atau melihat apa yang kita harapkan terjadi dengan pemberian kita, kita pantas untuk marah? Lha kalau kamu masih merasa bahwa kamu pantas untuk marah, ya berarti kamu nggak ikhlas dengan apa yang kamu berikan. Di sisi satunya kamu berkata bahwa kamu dengan rela hati memberi, tapi di sisi satunya lagi kamu masih berpamrih untuk apa yang kamu berikan. Yah, nggak seharusnya juga sih aku berpikiran seperti itu.

Tapi kejadian ini lalu mengingatkanku dengan keberingasan perilaku yang pernah aku miliki beberapa tahun lalu. Mungkin seharusnya orang-orang yang bersinggungan langsung dengan perilakuku pada saat itu, bisa saja menyindirku habis-habisan atas apa yang telah aku lakukan. Nyatanya aku juga tidak mendapatkan sesuatu yang bikin telinga gatal dan membuat aku harus pergi karena tidak tahan dengan omongan orang-orang itu. Ya, ibu dan bapakku adalah orang paling sabar. Mereka telah berhasil menahan diri sedemikian rupa untuk tidak marah besar kepada anaknya yang paling kurang ajar macam aku ini.

Banyak hal yang seharusnya bisa membuat mereka membabi buta melancarkan omongan-omongan pedas kepadaku. Misalnya saja dulu pas aku patah kaki, aku sengaja dibelikan tempat tidur yang tinggi oleh ibuku, karena beliau beranggapan bahwa tempat tidur yang tinggi akan memudahkan aku untuk bangun dan berdiri akibat keterbatasan gerakku. Tapi apa yang aku lakukan, seketika itu juga aku langsung marah besar pada ibuku karena tanpa ijin mengganti tempat tidur kesayanganku dengan tempat tidur itu. Aku pada saat itu sama sekali tidak tahu alasan ibuku membelikanku tempat tidur itu. Lainnya, saat bapakku memberikan hadiah ulang tahun berupa jam tangan dan sepatu sandal, kedua benda yang menunjukkan rasa sayang mereka pun sangat jarang aku pakai. Pernah mereka pada suatu hari bertanya kepadaku ”Win, kok sepatu sandalnya nggak pernah dipakai?” Dengan beribu jawaban ngeles tingkat tinggi aku pun mengatakan bahwa sepatu sandal itu rutin saya pakai, padahal ya itu cuma salah satu alasan yang muncul biar nggak ketahuan kalau aku nggak suka dengan model sepatu sandal itu. Ada banyak hal lain yang, mungkin saking banyaknya, aku jadi lupa bahwa aku juga telah mengecewakan kedua orang tuaku beribu-ribu kali. Jadi menyesal ketika aku mengingatnya!

Dari secuplik pengalaman dengan Alif tadi siang aku bisa menarik pengalaman yang begitu berharga. Bahwa dalama hari setiap orang pasti ada rasa ingin dihargai, ingin dihormati keberadaannya oleh orang lain, dan bermacam-macam keinginan yang bisa muncul ketika melakukan interaksi. Dan ketika orang lain tersebut tidak bisa melakukan apa yang kita harapkan dia akan lakukan, tentu akan menjadi sangat wajar ketika kita kecewa. Dalam kasus ini adalah walaupun tiap orang secara rela hati memberikan apa yang dia miliki pada orang lain dan membebaskan orang lain untuk memanfaatkan pemberiannya dengan sesuka hati, pasti ada seonggok harapan kecil di dalam hari bahwa apa yang dia beri akan berguna dalam hidupnya dan dia akan mengucapkan rasa terima kasih kepada yang memberi.

Ya, rasa terima kasih itulah pangkal dari semua permasalahan yang aku hadapi tadi siang. Aku merasa kalau Alif tidak berterima kasih terhadap hamster pemberianku. Rasa terima kasih tidaklah cukup hanya muncul di bibir saja, tetapi lebih daripada itu. Rasa terima kasih haruslah mampu diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Tanpa ada tindakan yang nyata maka ucapan terima kasih yang sudah terucap lewat bibir hanya akan terlewat belaka tanpa ada makna. Tanpa ada tindakan nyata maka secara tidak langsung kamu sudah menyianyiakan kasih orang lain kepadamu. Tanpa ada tindakan nyata berarti kamu telah menutup pintumu untuk menerima kasih-kasih dari orang lain di masa depan.

Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa penghargaan kita pada orang lain yang telah mengasihi kita, salah satunya adalah dengan membuat orang sadar bahwa kehadirannya, baik itu lewat perbuatan, perkataan, pemberian, berarti buat hidup kita seberapapun itu kecilnya. Hanya dengan cara itulah, orang lain bisa merasa dihargai keberadaannya.

Maka dari itu, jangan pernah marah ketika pemberianmu dicampakkan, tetapi jangan pernah kamu mencampakkan apa yang telah orang lain berikan kepadamu!

”Hargailah orang-orang yang menyayangimu, yang selalu ada, setia di sisimu. Siapapun jangan kau pernah sakiti dalam pencarian jati dirimu” (OST Sang Pemimpi)

Tidak ada komentar: