Senin, 26 April 2010

Ah, mbok sudah jalani saja!

Kata ini tiba-tiba mencuat dalam benak saya ketika saya berada dalam situasi kericuhan siang tadi di Poliklinik Mata. Bukan situasi rusuh macam perang antara satpol PP ama warga Koja, bukan juga perang gusur-gusuran antara satpol PP dan cina benteng di Tangerang. Bukan kok, ini cuma kejadian sederhana yang agak menganggu pikiran saya. Markimul a.k.a mari kita mulai (jadul bo!)


Hari ini saya dan teman-teman berjaga lagi di Poli Mata RSUP Dr. Sardjito setelah seminggu ini kami tercerai berai. Ada yang ke RS YAP, ada yang ke Banyumas (banyak cerita seru tentang Banyumas, intrik, konflik, lengkap!), ada yang pergi ke Cilacap tapi dideportasi dengan paksa gara-gara dokternya mendadak pergi ke Jakarta, tapi ada juga yang berjuang di rumah sakit jejaring macam Klaten, Wonosari, Bantul, Sleman, dan juga Wates. Setelah seminggu terpisah rasanya senang sekali berkumpul lagi dengan teman-teman yang menginjak minggu ke-4 mulai kelihatan anehnya, lucunya, katroknya, ndesonya, dan berbagai macam –nya, –nya, –nya yang laen. Kami menjalankan aktivitas poli seperti biasa, berbagi tugas dan melakukan pemeriksaan di subdivisi yang ada di poli tersebut. Sudah 2 minggu kami melakukan berbagai macam pemeriksaan wajib di subdivisi masing-masing, ada yang sudah faseh sampai terkadang bosan melakukannya, ada yang masih penasaran gara-gara belum bisa liat papil, pokoknya campur bawurlah.


Nah, selain masalah jaga dan bla..bla..bla..nya itu, hari ini kami juga akan mengundi dosen penguji untuk ujian akhir di stase kami. Ada beberapa orang yang sangat antusias untuk mengetahui siapa dosennya sehingga mengingatkan saya untuk memberitahu chief resident-nya untuk menetapkan waktu undian. Akhirnya waktu yang dinanti-nanti pun tiba, tepat setengah jam setelah tengah hari kami berkumpul di ruang refraksi untuk mengundi dosen penguji. Kertas-kertas kecil sudah disiapkan sebanyak 13 buah, lalu ditulis nama-nama dosen oleh chief residen. Kami semua berancang-ancang untuk mengambil kertas tersebut (sakjane yo rodo lebay sih, mergane kan mesti enthuk siji-siji khan, haha..anak muda...) Dan seketika itu pula, kertas-kertas itu sudah hilang dari telapak tangan si chief residen.


Seketika itu pula, kami semua bebarengan membuka lipatan-lipatan kertas yang menentukan masa depan kami selanjutnya. Saya melihat ada beberapa perubahan mimik muka. Ada yang puas, gelo, gerah, biasa-biasa aja, ada yang langsung kelihatan susah, ada yang teriak-teriak. Ya, semuanya seperti menyuarakan isi hati mereka. Yang kelihatan susah mungkin mendapatkan dosen penguji yang cukup berat, yang kelihatan senang mungkin mendapatkan dosen penguji yang cukup enak, yang biasa-biasa saja mungkin berpikir bahwa siapa pun pengujinya yo sama saja. Saya termasuk yang biasa-biasa saja.


Ini adalah ujian pertama kami di rotasi klinik, seperti biasa kalau mau ujian, kami sebelumnya sudah tanya-tanya kepada kakak kelas, bagaimana rasanya ujian dengan dosen-dosen tersebut. Sebagian nama dosen yang disebut kalau ujian susahlah yang kemudian membuat beberapa orang tampak menderita. Mungkin di benak mereka sudah terpatri kuat bahwa kalau ujian dengan dosen tersebut ya paling-paling seperti informasi yang sudah didapatkan. Padahal menurut saya ada banyak hal yang bisa menyebabkan kondisi-kondisi mengenakkan ataupun tidak mengenakkan pada waktu ujian.


Saya bertanya pada diri saya sendiri, kenapa saya kok biasa-biasa saja? Mungkin karena saya mendapatkan dosen yang cukup santai ketika memberi ujian. Tapi dalam benak saya, pengundian ujian itu adalah faktor yang tidak bisa kita kendalikan sama sekali atau lebih tepatnya bisa saya katakan sebagai keberuntungan belaka. Mau kita ngambil kertasnya duluan, belakangan, lebih cepet dari yang lain, ataupun bla..bla..bla..yang lain kita tetep nggak bakal tahu siapa dosen yang tertulis di kertas tersebut. Yaa...semuanya terserah alam saja yang mengatur, manut-manut waelah. Reaksi beberapa orang teman saya kira wajar karena informasi-informasi yang mereka dapatkan plus sedikitnya pengalaman yang didapat untuk menghadapi dosen-dosen tersebut.


Saya berpikir dan saya menyadari kalau kita diprediksi mendapatkan sebuah kesulitan tertentu, reaksi pertama yang muncul adalah mengeluh. Itu sudah hukum alam. Nek ada manusia yang nggak mengeluh berarti yo kuwi wis tingkat dewo berarti. Tapi terkadang kita suka terjebak pada hal-hal negatif yang sudah kita bayangkan akan terjadi di depan kita. Bahwa ini akan seperti itu, itu akan seperti ini, bahwa ini akan seperti ini, dan ini-itu serta ini-ini yang lain. Padahal siapa juga yang tahu apa yang akan terjadi di depan. Siapa tahu dosen yang biasanya galak, tapi pas kita ujian baru dapet undian 2 milyar, njuk kita langsung lulus tanpa susah payah, atau dosen yang biasanya santai tapi rumahnya baru saja kemalingan, njuk kita malah jadi sansak kemarahan, siapa juga yang tahu. Sama sekali nggak ada yang tahu.


Hidup itu tidak pasti dan kita sering takut untuk menghadapi ketidakpastian yang ada di depan kita. Yang bisa kita lakukan adalah mereka-reka sendiri ketidakpastian-ketidakpastian tersebut dalam bentuk kepastian-kepastian yang kadang malah membuat kita takut atau lengah. Sering karena dosennya galak atau ujiannya susah, orang malah nggak belajar karena menurutnya sama saja belajar atau enggak toh nanti juga akan ada tugas tambahan dari dosennya, juga bisa lengah karena katanya dosennya baik sehingga nggak belajar dengan maksimal.


Apa yang mau saya share di sini? Bahwa semua ketidakpastian itu adalah hal yang paling pasti dalam hidup. Hanya itu satu-satunya dalam hidup yang pasti kecuali mati tentunya. Ketika kita sadar bahwa semuanya tidak pasti berarti semuanya mungkin terjadi. Yang bisa kita lakukan untuk menghadapi ketidakpastian adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi hal itu. Belajar semaksimal mungkin yang kita bisa. Bertanya sekritis mungkin pada orang yang bisa ditanya. Pokoknya kita harus melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk bisa menghadapi situasi itu. Sehingga apa pun kondisinya yang akan menimpa, kita sudah siap. Ubah mindset kesulitan sebagai sebuah tantangan. Dan sadari saja kalau kita sudah mampu melewati tantangan tersebut berarti kita sudah naik level dalam tataran manusia. Pada intinya adalah berusahalah sebaik mungkin, sisanya serahkan saja pada alam, biar mereka yang mengaturnya.


Selamat ujian teman-teman! Ujian pertama harus berhasil, yeiy! Sing semangat!

1 komentar:

saesae mengatakan...

bener banget ping..
lama2 udah kebal juga
tapi tidak bisa dihindari juga rasa deg2an itu
wajar aja kalo menurutku
soalnya emang standar penguji tidak merata
ada yang gemar menyiksa
ahahaha

tapi aku setuju..
yasudah, mbok dijalani aja!
gudlak ya