Senin, 08 Desember 2008

Peluk


Kata-kata inilah yang paling sering kau tuliskan di bawah deretan kata dunia mayamu. Entah apakah kau memang haus dekapan atau kau menyediakan orang lain untuk bisa bersandar di pundakmu. Aku sendiri masih tidak tahu sampai saat ini. Terakhir kali kau berkirim kabar denganku tidak ada kata itu di tempat biasanya. Mungkin kau terlupa atau sudah tidak menganggap itu hal penting lagi untuk diketahui. Padahal deret kata yang lain masih menyisakan secuplik kata itu di epilog.

Kau selalu berkata padaku bahwa peluk berarti bahagia karena kita seperti membagi beban diri kita kepada orang lain. Dan kau selama ini selalu melakukan itu setiap kali kau berkeluh kesah. Ya, hanya sekedar genggam erat yang terjadi. Tapi bagimu, dekap itu adalah hal paling berharga yang bisa dilakukan. Aku masih ingat ketika bulan purnama melihat kita berpeluk saling melegakan di hamparan tanah lapang itu. Peluk yang membuat kita berkata bahwa tidak mau kehilangan satu sama lain.

Aku mendadak menjadi orang linglung semenjak saat itu. Seperti orang yang tak tentu arah. Berjalan berdasarkan naluri yang terkadang malah menjerumuskan ke jurang penuh nista. Aku tidak berharap semua akan begitu kacau seperti ini. Selama ini memang aku yang berbuat gara-gara. Merusak apa yang sudah terbangun dengan rapi. Menghancurkan harapan yang membuat orang lain mungkin akan depresi berhari-hari ketika mengalaminya.

Aku berusaha melakukan yang terbaik untuk memperbaiki semuanya. Kekacauan yang sudah kubuat. Pilihan yang harus diambil. Ketegaanku menghempaskanmu dari selubuk ruang hatiku. Oh aku lupa. Kau tidak mungkin terhempas kecuali kau melakukannya sendiri. Seperti bisma yang tidak akan pernah mati kecuali dia yang menghendaki. Begitulah diriku, tidak mungkin akan meninggalkan engkau pergi begitu saja. Kau mungkin yang akan perlahan demi perlahan membalikkan badan sembari berjalan menjauh.

Aku tidak pernah mengganggap engkau seperti layang-layang yang dengan mudah terbang melayang tinggi ke angkasa. Tapi bisa seenaknya kutarik dan kukendalikan sesuka hatiku. Aku suka melihatmu menawarkan dunia dengan segudang pengalaman dan pemikiran yang ada di dalammu. Dunia yang berusaha direkam dalam tiap lubuk bercampur kegirangan.

Aku lebih suka melihatmu terbang bebas layaknya burung merpati. Mengepak sayap tanpa kenal lelah. Jelajahi sudut-sudut kota yang penuh keramaian. Melesat cepat kalau kau tidak melihat ada sesuatu yang mengharuskan engkau untuk terlibat. Tapi mendadak berhenti ketika ada amarah yang membumbung memberi tanda ke angkasa. Menunduk kepala seraya menajamkan indra untuk menilik lebih jelas apa yang terjadi. Apapun yang terjadi, kau akan tetap berkompromi dengan tujuanmu. Berhenti sejenak di sana. Menawarkan biduk perdamaian dan ketenangan. Perantara dua makhluk yang bertikai. Kalaupun kau tidak bisa memberikan damai di sana. Kau akan mengajak salah satu pihak yang kalah untuk pergi beranjak sebentar dan mendengar keluh kesah yang keluar dari mulutnya. Elusan sayap di punggung, kicau penyejuk, ataupun hanya cicit kecil dari paruhmu, sudah cukup membuat orang lain bisa berdiri tegak kembali. Menuai hidup yang penuh tantangan dengan penuh harapan.

Inilah yang sanggup aku lakukan saat ini. Hanya mengingat apa yang tersisa darimu. Engkau yang sekarang pergi entah kemana. Terakhir kali kau bilang kalau kau tidak mau lagi tergantung denganku. Aku sadar bahwa aku tidak terlalu baik untuk dijadikan tempat bergantung. Aku terlalu rapuh untukmu bergelanyut. Apalagi bagi kamu yang dikatakan berbadan besar oleh pamanmu.

Aku bukanlah orang yang bisa memberi ketenangan padamu setiap saat. Bahkan, aku mungkin adalah prahara yang sampai saat ini masih mengganggu hidupmu.

Aku tahu bahwa perlahan aku akan dienyahkan paksa dari obrolan biasamu. Tidak ada lagi keluh kesah yang akan mampir ke telingaku. Yang ada hanya punggung badanmu yang hanya bisa aku lihat dari kejauhan. Kau yang tampaknya sudah menemukan senyuman lain yang bisa membuatmu merasa nyaman, tanpa harus merasa terpaksa untuk berkata.

Ruang putih itu hanya akan berderak oleh satu jejak langkah. Bukan dua apalagi tiga seperti biasanya. Aku hanya akan merenung seorang diri menikmati imaji tanpa pendamping setia. Uang tiga ribuku hanya akan terbuang sia-sia di dalam sana. Aku belajar berteman dengan sepi. Aku tidak mau memaksakan egoku hanya karena aku tak mau sepi menghampiriku.

Aku akan berdiam di sini. Bertugas sebagaimana biasanya. Menerima hembus nafas pesimis orang-orang di sekelilingku. Dan mengolahnya menjadi sesuatu yang masih berharga untuk dikecap. Tapi, mungkin tidak akan ada lagi rupa stresmu di hadapanku. Tidak ada lagi teriakan aneh yang membuat hantu pun takut berkenalan denganmu. Atau tanganmu yang merusak tatanan rambut acak adulmu.

Aku tahu kau pasti tidak akan lagi merepotkanku. Walaupun aku suka direpotkan olehmu. Kau juga tidak akan lagi menangis di depanku, walau aku juga suka menenangkanmu. Kau tidak akan lagi meminta peluk karena aku tidak bisa lagi memberi. Tapi yang aku tahu, aku tetap di sini. Tidak akan menjauh atau pergi meninggalkanmu. Terlalu sulit untukku mengelak.

Aku akan berperan sebagai sahabat yang akan menerimamu apa adanya. Ketika kamu juga sudah bisa melihatku sebagai teman baikmu. Mungkin saat itulah aku akan berdiri menyambutmu, mengelus rambutmu dan memberi dekap hangat dalam peluk eratku.

*silakan beranjak sebentar sampai kamu puas bergumam takdir.

2 komentar:

Nisa A mengatakan...

Wrin...
Maap rda off topic. ^^v
But you've been tagged by me, baca entry "about me" yaaa. ;)

Um, apa entry ini pengalaman pribadi? :(
Duh Wrin, semangat ya kawaaan

Anonim mengatakan...

Tulisannya dalem..
Kayaknya hampir semua orang pernah ngalain yak? :D